Kamis, 19 Februari 2009

DEWA VALEN-TINO DI FEBRUARI

Selamat pagi, pagi. Kadang aku bingung mengapa awal dari sebuah hari disebut pagi? kenapa tidak dengan nama yang lain? Yah itu bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban, karena tidak akan ada jawabannya, dan tidak akan ada orang yang terlalu santai untuk menjawabnya. Emhmm... yah, di sinilah aku masih enggan meninggalkan ranjang hangatku, pergi menjejak lantai keramik dingin di bawah sana. Namun cepat atau lambat aku harus melakukannya. Demi hidupku, khususnya otakku, karena mungkin sebentar lagi wanita yang ku sebut ibu, yang sejak tadi telah sibuk dengan pisau dan kompornya itu akan menggedor pintu kamarku dan menyuruhku bersiap untuk pergi ke tempat yang bernama sekolah. Yah, mengingat otakku... apa kabar dia pagi ini. Apakah dia masih bisa digunakan pagi ini? Semalaman ia telah bekerja keras membatuku menyelesaikan segala tugas dari organisasi. Segala urusan proposal dan semua surat permohonan yang harus di serahkan pagi ini juga.
Badan yang lemas dan tulang-tulang yang masih kaku ini mengiringi langkahkku menyusuri sepanjang lantai ke kamar mandi. Ku lirik kalender yang telah mulai memasuku bulan Februari, 1 Februari 2009, Wow bulan kasih sayang pikirku. Adakah yang akan menghadiahiku coklat? pikiran koyol itu terbesit sesaat. Sedang wanita yang di sana itu hampir selesai dengan kesibukannya tadi. “Selamat pagi, Sayang!!” Kata pertama yang ku dapat hari ini. Ia begitu mengagumkan bagiku, tak ada yang dapat menggantikan sosoknya yang seperti itu. Oh, dialah yang sangat berarti...
Berjalan sendiri. Seperti biasa. Menunggu bus di halte bercat biru, dengan berbagai bentuk pribadi yang entah kemana tujuannya nanti. Mentari meninggi dan sesaat tertutup bayangan besar yang tepat berhenti di depanku. Bus umum yang penuh sesak itu, memperkenankan dirinya untuk ku naiki. Tak ada bedanya dengan pagi-pagi sebelumnya. Bus ramai dan penuh anak berpakaian putih dengan bawahan yang kebanyakan biru dan abu-abu. Menyatu dalam besi tua beroda itu. Kesesakan itu tak pernah mengurungkan niat aku atau siapa pun yang di dalamnya sekarang untuk menghabiskan perjalanan dengan mobil besar itu.
Oh, keram... yah, selalu itu yang dirasakan kakiku setiap pagi. Berdiri sepanjang perjalanan memang tidak menyenangkan. “Mau, duduk!!” tawar seorang anak lelaki, mugkin seumuran denganku. Dan aku segera mungkin bertukar posisi dengannya. Oh, astaga dia sepertinya ku kenal batinku ketika mataku menagkap sekilas sosoknya. Lama ku perhatikan pria baik hati itu. Dan ternyata memang benar aku sudah pernah bertemu dengannya, “Valen!!” yah itu namanya, aku mengucap namanya dengan sedikit terkejut. Anak lelaki tadi hanya diam, dengan senyum yang mulai merekah dari bibirnya, menatapku. Jujur tatapannya begitu membuatku sangat merasa...apa yah namanya? Sangat merasa bahagia mungkin...yah, mungkin memang bahagia atau juga ada perasaan lain yang tidak dapat aku ungkapkan dengan rasa apa pun. Tak ada yang lebih manis dari pada senyumnya pikirku. Apalagi dengan dua gingsulnya dan pipinya yang senantiasa berlubang, itulah yang membuat wajahnya memiliki aksen unik di mataku. Dan wajah itu tak akan mudah tergantikan begitu saja. Apalagi dengan kenangan indah yang ada di balik persahabatan kami beberapa tahun yang lalu. Yah, dia memang sahabatku dulu. Ketika awal SMP tepatnya. “Hai, Dewa!” sapanya dengan lembut. Aku hanya terdiam tak percaya, kalau itu benar-benar dia. Kabar terakhir ia pergi keluar kota, ke Jakarta menurut yang ku dengar. Ia berniat melanjutkan sekolahnya di sana, karena ayahnya yang akan pindah ke sana untuk urusan bisnis. Dua tahun yang lalu aku terakhir kali bersamanya, dan sekarang ia berdiri di hadapanku dengan wajah dan tampilan yang begitu luar biasa, tak ku duga. Ia tampak lebih manis dari pada yang ku kenal dahulu. Dulu mungkin hanya aku yang dapat melihat betapa manisnya dia, tapi sekarang mungkin semua orang sudah akan sependapat dengan diriku dulu. Dan sekarang aku merasa aneh juga menemukan teman kecilku dalam tubuh seorang yang memang dirinya, namun nampak begitu berbeda dengan dua tahun yang lalu. “Kau memotong rambutmu?” Tanyanya, dengan pertanyaan yang sedikit aneh di telingaku. Rambutku memang menjadi lebih pendek sekarang, sangat pendek malahan karena aku memotongnya dengan gaya segi harajuku dan nampak seperti anak tomboy, meski sebenarnya aku tidak terlalu tomboy. Dengan rambut baruku ini ku pikir tidak ada yang akan terlihat lain dariku, yah setidaknya itu yang ku pikirkan. Aku tidak tahu untuk dirinya mungkin itu menjadi sesuatu yang lain untuknya.“I...i...ya...memang kenapa?” aku sedikit canggung juga, apa lagi dengan tatapan beberapa penumpang bus lainnya yang sejak tadi melirik-lirik ke arah kami berdua. “Kau, terlihat begitu berbeda.” Katanya dengan tenang. “Kau lebih cantik sekarang.” Tambahnya, aku sedikit malu juga saat dia bilang seperti itu. Aku tak percaya ia mengatakannya. Ia belum pernah mengatakan hal seperti itu sebelumnya. Bahkan selama satu tahun aku bersahabat karib dengannya tidak pernah sekalipun dia membuat suatu atmosfir berbau kata-kata manis seperti itu. Dia jauh lebih pendiam dahulu. Meski begitu, kata yang terucap darinya itu sedikit banyak membuat jantungku menjadi sedikit tak tenang, dan aku tak tahu apa yang menyebabkannya. Tapi setiap ucapan dari bibirnya memiliki sebuah makna bagi diriku.
Ia diam sambil menatap ke luar jendela. Matanya nampak berkilat dibalik kacamatanya yang memang sejak dulu ia juga sudah mengenakannya. Wajahnya terlihat merona di bawah cahaya matahari pagi itu. Aku begitu takjub namun segera mungkin aku kendalikan dan sembunyikan rasa itu. Aku tak ingin membuatnya risih dengan aku yang menatapnya dengan aneh. Tak ada pembicaraan lagi antara kami. Kami berdua saling terdiam. Aku tak berani untuk memulai pembicaraan. Hanya kadang kala mata kami bertemu dan sepertinya ada percakapan khusus antara keduanya yang tentu saja tidak akan mungkin dapat diterjemahkan oleh pikiranku tapi hatiku dapat merasakannya sebagai sebuah sesuatu.
Endra cowok bertubuh tegap itu telah berdiri tegak di gerbang sekolah, sambil menatapi sosokku yang mulai berjalan mendekat akan memasuki gerbang. “Pagi, Sayang!” sapanya, tidak membuat diriku begitu berbunga. Cowok itu mendekatiku. Berdiri tegap di hadapanku. Aku hanya diam saja mencoba mengalihkan pandanganku darinya. Aku memang telah menjadi kekasihnya sejak dua bulan yang lalu, namun aku merasa rasa cintaku tak sebesar saat aku pertama kali menjadi kekasihnya. Atau mungkin saat itu bukan cinta yang ku rasakan tapi lebih pada perasaan berbangga karena ada juga yang melepaskan predikat sendirinya pada sosok seperti aku, “Pagi!” Kataku pelan, ketika wajahnya berada benar-benar dekat dengan wajahku yang ku palingkan. Sedikit demi sedikit ia mulai mendekatkan wajahnya lagi. Sepertinya aku tahu apa yang akan ia lakukan. Dan itu membuat kau semakin gugup, apalagi dengan teman-teman se-ganknya yang terus saja mengomporinya dari belakang. Dan, “Krrriiiiiinnngggg!!!” bel sekolah berbunyi. Aku dan Endra kontan terkejut. Endra mulai menjauhkan wajahnya dariku. Dan terbesit sebuah kelegaan dalam diriku. Dan kesempatan itu tak ku biarkan saja. Sebelum Endra memulai lagi, aku segera beranjak dari tempatku dan mengucap sampai jumpa kepadanya dan juga untuk teman-teman se-ganknya.
Dalam kelas tak satu pun yang membuat aku begitu merasa tertarik. Masih sama seperti biasanya. Guru yang menerangkan dengan anak-anak yang berusaha memperhatikan, tapi tetap saja ada hasrat untuk mengabaikan gurunya. Begitu juga dengan aku. Walau sesungguhnya Fisika adalah pelajaran kesenanganku namun sekarang aku lebih senang dengan lamunanku. Yang terus saja menjurus dan menerbangkan diriku ke arah bayangan seseorang yang aku temui pagi itu. Valen. Ia terus membuat aku memikirkan hal-hal indah tentang dia. Benar-benar gila kalau aku bilang. Sesungguhnya ada suatu perasaan ingin jumpa lagi dalam hati kecil ini. Yang mungkin akan berakar lebih jauh lagi menemukan perasaan yang disebut sayang atau mungkin akan lebih dari sekedar sayangnya seorang sahabat.
Pulang sekolah. Waktu berlalu dengan cepat ketika aku menikmatinya. Meski hanya dengan lamunan aku mewarnainya namun itu lebih membuat diriku senang dari pada harus melakukan hal lainnya. Namun sayang siangnya tak akan ku rasakan lebih cepat dari pada paginya. Endra sosok yang kini berstatus sebagai kekasihku itu telah bersiap mengajakku untuk memberi warna pada harinya. Dan untukku hanya kan mendapatkan suatu kepudaran dari warna yang ku dapat pagi itu. “Hai, Dewa Sayang!” kata seperti itu terus saja terlontar dari bibirnya setiap kami berjumpa. Dan sejujurnya sejalan dengan waktu yang terus meroda, aku benar-benar muak dengan kata-katanya. Walau hal itu memang sudah menjadi kewajaran di kalangan para anak sepertiga usia. Tapi aku sungguh tak menyukainya. Itu terdengar sedikit vulgar untukku, terlebih dengan dia, Endra yang mengucapkannya. Yang sudah jauh lebih sering merasakan yang namanya merajut cinta dari pada aku. Itu akan sangat terdengar seperti sebuah rayuan gombal. Dan aku tipe yang tidak suka dengan sebuah kata-kata manis yang berujung maksud. Seperti udang di balik batu dari peribahasa yang sering ku dengar.
“Hai”, seruku malas tapi dengan tetap memberi sentuhan ramah agar aku tidak membuatnya sakit hati. “Dan sekarang Sayang...bagaimana kalau kita pergi berdua. Kau mau kemana? Gimana kalau belanja ke Solo Grand mall, trus nonton, makan? Atau terserah kamu lah selanjutnya. Yang penting kita jalan berdua saja hari ini.” Tawar Endra dengan antusiasnya, dengan mencari kesempatan untuk merangkul pundakku dari belakang. “Aku malas ke mana-mana!” jawabku jujur sudah tidak tahan dengan sikapnya. “Loh! Kamu kenapa sih, Say?” Tanya Endra melihat tingkahku yang mencoba tidak terlalu dekat dengannya. “Ayolah Dewa Sayang! Aku pengen banget kamu temenin hari ini. Ya, udah deh, kemana aja. Terserah kamu. Yang penting aku bisa sama kamu.” Endra tak putus asa, seakan memaksaku terus untuk berkata Ya. Dan akhirnya itulah kata yang aku nyatakan. Aku tak bisa menolaknya kalau ia sudah mulai begitu. Aku takut bila ia melakukan hal gila yang mungkin terjadi untuk sekedar membuat hidupku mejadi tersandung kesusahan. Dari pada itu benar-benar terjadi, lebih baik mengucapkan sebuah kata yang sebenarnya tidak tulus tercurah dari hatiku.
Sepanjang jalan di sekitar Stadion Manahan. Menjadi tempat terhormat untuk Endra dan terpaksa ku katakan bersamaku siang itu untuk melepaskan segala hasrat muda Endra. Sebenarnya aku ingin tetap di sekolahan saja. Namun aku tak mau membuat SMK-ku sebagai tempat Endra untuk menghujamkan segala jurus rayuannya, itu akan membuat aku merasa bersalah sekali. Sesungguhnya aku sangat menghormati dan mengagumi SMK-ku itu, SMKN 2 Surakarta, sekolah tercintaku. Dan setitik pun aku tak ingin menodai setiap sisinya.
Dan Stadion Manahanlah yang kurasa lebih tepat utuk dijadikan tempat aku dan Endra menyelesaikan siang itu. Dengan masih mengenakan putih abu-abu yang terbalut jeamper merahku, aku menjadi tempat sampah segala ucapan, segala keluahan, dan segala rayauan dari Endra. Dan itu akan menjadi sangat menjenuhkan, jika saja aku tidak terlalu mengabaikan apa yang terdapat dalam nada suara laki-laki itu. Aku lebih tertarik dengan pemandangan di sana yang kebanyakan hanya batangan pohon cemara namun itu sungguh membuat aku nyaman dari pada untuk memberi respon segala yang diucap Endra. Sekilas aku tercekat. Bayangan indah terlintas sejenak di retina mataku. Valen serasa terlintas sekilat di hadapanku. Aku sungguh merasa ada dirinya ada sejajar denganku sedetik yang lalu. Ku perluas arah pandangku. Dan arah belakanglah yang menjadi tujuan utamaku. Dan benar saja ku temukan sosok manis itu sekarang. Sedang berdiri di hadapan sebuah gerobak es sendiri, dengan jaket yang senada warnanya dengan jeamperku. Ia mengarahkan pandangannya padaku. sepertinya ia juga menangkap aku dalam bola matanya ketika kami berpapasan tadi. Endra yang merasa kehilangan perhatianku mulai tersadar, dan mulai membangunkan aku dari lamunan, “Sayang, Dewa! Kamu kanapa?” tanyanya seraya mencari titik pandang yang kulihat sekarang. Namun ia tidak terlalu jeli untuk menemukan Valen. Aku segera mengambil alih suasana, “Eh...E...Enggak! udah ayo jalan lagi! Sampai di mana tadi...” kataku asal, namun itu tampak membuat Endra merasa spicles, apalagi dengan senyumanku yang mulai merekah lebar yang sebenarnya tidak dikarenakan dirinya melainkan sosok indah yang terlintas beberapa detik lalu. Tapi ya...sudahlah terserah apa yang ia rasakan sekarang, aku tidak perduli. Aku sudah merasa senang dengan.....
***
Hari ini sehari setelah pertemuanku dengan Valen. Aku ingin menemukan dirinya sekarang, di bus ini lagi. Namun kenyataan berkeinginan lain. Aku tak menemukan senyum indah Valen, tidak di dalam bus, tidak di jalanan, bahkan dalam pikiranku senyumnya telah nampak memudar dengan kekecewaan. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa menginginkan dirinya di hadapanku sekarang. Dan itu ku namakan sebagai kerinduan yang amat sangat mendalam. Dan jika rindu itu telah benar-benar memilukan hasratku, aku semakin yakin kalau aku sayang teramat sayang kepada lelaki manis sahabat lamaku itu. Hari berlalu seperti biasanya, datar. Tak ada warna, tak ada serpihan gemerlap. Bahkan Endra terlihat tidak terlalau terobsesi untuk mendekati diriku hari ini. Sepi itu yang kurasakan sepanjang pagi. Dan itu selebihnya berpengaruh pada konsentrasiku di kelas. Aku lebih memperhatikan pelajaran dari pada hari sebelumnya. Dan guru Fisikaku Bu Srimastuti, seakan menemukan murid terdahulunya kembali. Yang begitu sangat antusias pada hujanan rumus-rumus dan ilmu eshaknya. Siang berlalu begitu lama. Waktu ku coba habiskan untuk berdiam dan membaca di perpustakaan sekolah. Beberapa buku yang tidak terlalu tebal ku tamatkan. Di tambah beberapa judul komik, juga majalah yang hanya ku bolak-balik mencoba menyegarkan mataku dari tulisan-tulisan yang diterima mataku sebelumnya. Tak puas dengan perpustakaan aku beranjak ke Gramedia untuk menemui beberapa judul buku. Ditemani beberapa teman seorganisasi aku menyusuri jalan menuju rumah buku itu dengan jalan kaki. Memang jarak Sekolahku tidak terlampau jauh dengan Gramedia, dan itu menjadi hal yang tidak di sia-siakan oleh para murid penggila buku.
Sampai di tujuan, seperti hariku tempat itu terlihat legam-legam saja. Hanya ada segelintir orang yang mengijak keramik rumah buku itu. Segera aku berkeliling berpisah dengan teman seperjalanku untuk mencoba menemukan yang akan menarik mataku. Ku tuju rak buku yang berjudul Sastra. Aku sekarang sedang ingin menerapi jiwaku dengan segala puisi-puisi yang terkumpul dalam buku karangan Chairil Anwar, atau tokoh sejalan lainnya. Ku temukan buku yang kurasa menarik. Namun bukan buku karangan orang yang sering ku dengar namanya di bidang itu. Buku itu hanya bertuliskan ‘Kumpulan Puisi Cinta Anak Peralihan’. Aku sedikit janggal menemukan kata peralihan dalam judul buku itu, namun aku akhirnya paham kalau yang dimaksud peralihan itu adalah kaum remaja.
Ku lepaskan buku itu dari raknya dan ku geletakkan di atas meja baca kayu yang tampak budar di sisi lain dari ruang itu. Larik demi larik, bait demi bait dan akhirnya lembar demi lembar ku coba pahami puisi-puisi di dalamnya. Kalimat menggetarkan aku temukan dalam bait dari salah satu puisi di sana, “...Biar sedikitnya aku sakit, teruji janji dari setiap bait, yang menjadikan kita saling terkait, meski tangah terpisah, dan hati resah, aku akan tetap pasrah menerima segala siksa, yang menjadikanku memiliki rasa, dan kaulah Dewa yang menjadikan aku menjadi dewa, yang akan terkait dalam setiap bait ini....” ku coba mencari nama pengarangnya namun tak kunjung ku temukan. Hanya ada tulisan yang terbaca 14 Februari 2009 di bawahnya. aku tidak mengerti dengan puisi itu jika tanggal yang tertera itu adalah tanggal penulisan puisi tidak seharusnya ditanggal itu, karena memang tanggal kasih sayang itu belum menaungi kaum manusia tahun ini. Dan aku merasa aneh dengan kata ‘Dewa’ pada baitan puisi itu. Dewa di disitu seperti menunjukan bukan seperti dewa yang tertulis setelah kata ‘Dewa’, namun lebih seperti sebuah nama karena penulisannya jelas-jelas menggunakan huruf besar, dan itu menghantarkan keyakinanku pada pemikiran seperti itu. Bukannya aku merasa, dengan adanya nama Dewa dalam puisi itu. Namun aku hanya merasa sedikit aneh, yah, sedikit aneh...
“Dewa!” panggil seseorang pelan. Dan tidak membutuhkan banyak waktu segera ku temukan sosok pemanggilku, “Valen!” Astaga yang kuharapkan sejak pagi, akhirnya ke temukan dalam sore yang jingga ini. Duduk di hadapanku dengan sebuah novel di depannya. Wajahnya tampak memerah di terpa cahaya orange sore yang menembus kaca ruang baca itu. Mengapa wajahnya terlihat bersenyawa dengan segala cahaya dari sang mentari, entah itu saat pagi dalam bis umum, siang di sepanjang jalan Manahan, dan sekarang aku menemukan eksotisnya di bawah terpaan mentari sore. Jantungku begitu tak mampu ditenangkan, dengan sekejap berdetak tak terkendalikan. Dan senyum manis yang ku rindukan akhirnya ku temukan sore ini.
Lampu-lampu jalanan mulai menyala menerangi jalan-jalan di sepanjang kota Solo. Beberapa tenda pedagang mulai berdiri tegak. Dan lagi-lagi jalan Adi Sucipto sekitar Manahan menjadi pemirsa setia perjalananku dengan seorang dari kaun adam. Tapi kali ini bukan kaum adam yang tidak ku harapkan, seperti sebelumnya. Tapi justru sebaliknya. Valen sosok yang mulai menebarkan aura hangat di samping kananku, membuat aku begitu nyaman dan terlupakan oleh angin-angin malam yang kiranya seperti hendak merayuku dengan hawa kebekuan. “Jadi kamu juga seorang PI?” tanyanya padaku. “Juga?” aku tidak mengerti dengan kalimatnya, atau dia memang juga seorang..., “Iya, aku juga PI!” aku Valen tetap dengan karismanya, tidak sedikit pun berniat berbangga. “Tapi, bagaimana bisa? Kamu kan baru...” aku segan melanjutkannya, aku sengaja agar dia memotong perkataanku dan memberi kejelasan. “Siapa bilang, aku baru kembali? Aku sudah berada di kota ini sejak tahun ajaran baru. Dan mendaftarkan diriku sebagai siswa SMK 5.” terang Valen dengan senyum yang berkembang sehingga tampak berlubanglah pipinya, dan sungguh itu pesona yang luar biasa. Memang aku sudah tahu kalau dia siswa SMK 5 atau dulunya STM 2, sejak pertama bertemu di bus kemarin dari seragam yang ia kenakan. Tapi astaga sungguh aku tak menyangka ia berada tidak jauh dariku selama lebih dari satu semester dan aku tidak mengetahuinya. Sungguh itu hal yang keterlaluan. Apalagi dengan hubungan kami yang menjadi seorang sahabat ketika kelas 7 SMP dulu. Oh, seandainya kau muncul lebih awal Valen mungkin aku tak akan semudah itu terpikat dengan cinta Endra. Itu menjadi yang sangat ku sesalkan. “Tapi, kenapa baru sekarang kamu muncul?” tanyaku mengungkapkan segala perasaan hati. “Sebenarnya aku tidak menyengaja untuk baru muncul sekarang, De!” ketika dia menyebut namaku dengan ‘De’ aku merasa ia memang sahabatku dulu. “Aku benar-benar kehilangan jejakmu saat aku sampai di kota ini. Apalagi saat SMP kita tidak pernah sekali pun membicarakan alamat rumah, dan kau tau aku sangat jaim sekali saat itu, bahkan untuk hanya sekedar mengetahui alamat rumahmu. Dan juga dengan dirimu yang begitu tampak berbeda. Yang jauh dari pada kamu yang dulu secara fisik, itu menjadi alasan kuat untuk aku tidak mengenali kamu. Maafi aku, De, kumohon” Jelas Valen tampak sungguh-sungguh, tidak tergurat dusta atau pun mengada-ada dari air mukanya. “Ah, kamu, Va! Kamu itu tidak berubah, soal sifatmu yang selalu polos dan selalu mengalah. Jujur aku merindukan kepolosanmu itu, dan sekarang ku temukan lagi. Namun sedikit terlihat aneh bila kepolosan itu berada dalam tubuh seorang Valen yang ada di sampingku sekarang. Yang lebih...” Oh, aku harus istirahat di sini. di luar aku bisa membuat diriku serileks mungkin, terlihat tenang dan santai. Tapi di hati ini, sungguh, sungguh aku tak kuasa untuk segala debaran hebat ini. “Lebih apa?” Valen menghujamku dengan pertanyaanya, benar-benar menghujam hati dan seluruh jiwaku yang sedang terbalut emosi. “Lebih besar, lebih tinggi, lebih hitam, lebih kurus...” aku mencoba membelokan arah pembicaraanku agar aku bisa lebih tenang, “Oh, Ya?” Valen terlihat tertawa kecil. “Dan kau Dewa yang sekarang! lihat dirimu begitu centhil, begitu besar, dan begitu-begitu yang lain. Tolong segera kembalikan Dewa sahabat kecilku. Ayo kembalikan!” Valen menanggapi perkataanku dengan masih terus tertawa kecil. Aku ikut tertawa. Dan sepanjang langkah kami itu berlalu dengan canda tawa kami. Yang begitu indah dan pasti akan ku rindukan. Dan tanpa aku sadari tangan kami telah saling bergandeng sejak beberapa waktu yang lalu. Tangan lembutnya begitu menghangatkan seluruh raga dan sanubariku. Malam itu adalah malam terindah untukku.
***
Hari-hari berlalu bermakna dengan internsitas pertemuanku dengan Valen yang semakin sering. Latihan gabungan antara PI SMK 2 dan SMK 5 menjadi salah satu alasanku untuk sekedar mendapati senyumannya lebih sering. Dan Endra aku sudah jarang bertemu dengannya, dan sejujurnya ketika Valen di sisiku membuat aku benar-benar melupakan Endra. Mungkin terdengar kejam. Namun itu memang yang terjadi. Menurut kabar dari teman-teman seorganisasiku juga sejumlah orang yang ku kenal, Endra telah memiliki hubungan lain degan gadis lain. Anehnya itu tak membuat sedikit pun diriku marah, sakit hati, atau cemburu, karena memang aku sudah tidak simpati lagi dengannya. Terlebih dengan sifat-sifat yang tidak dapat ku tolerir darinya, yang sudah ku ketahui secara mendalam selama aku menjadi kekasihnya. Dan sekarang aku semakin yakin kalau aku sudah tak ada rasa dengan anak itu.
Sore itu 10 Februari 2009, hujan deras menyelimuti kota Solo. Aku dan beberapa anak PI lain terjebak dalam air yang berjatuhan itu. Latihan Gabungan kami tidak sesuai dengan yang di jadwalkan karena Februari yang penuh hujan sehingga latihan kami terhenti sampai setengah waktu hari itu. Valen terlihat sedang bebicara dengan rekan seangkatannya, seperti sedang memberikan pidato kecil. Karena memang ia di sana menjadi seorang Komandan sekaligus Ketua PI di tahun miliknya. Aku sendiri sedang duduk menatapi derai derasnya hujan bersama seorang seniorku yang duduk di sampingku memberi nasehat-nasehat demi kemajuan angkatan kami. Setelah beberapa saat, seorang dari SMK 5 memanggilku, tapi bukan Valen. “Ada apa?” tanyaku pelan, melihat seseorang itu juga tampak tidak ingin terlalu menarik perhatian. “Valen menunggumu di atas.” Kata anak lelaki itu hampir berbisik. Aku sedikit merasa curiga dengan gelagatnya. Aku pun akhirnya menuruti kata anak itu, aku menuju ke ruang atas. Aku menaiki anak tangga selangkah demi selangkah dengan penuh tanda tanya. Segala dugaan-dugaan menghujani pikiranku sederas hujan yang turun sore itu. Sampai di atas terlihat Valen berdiri bersama Inod salah seorang seniorku, mereka memandangi ke arah barat seperti mencoba mencari matahari di balik awan mendung yang bertebaran liar di angkasa. Setelah melihatku datang, Inod menepuk bahu Valen dan beranjak pergi. Dan tinggalah hanya aku dan Valen di sana. Valen tersenyum tipis masih tak mengalihkan padagannya dari angkasa. Matanya tampak redup dengan awan mendung yang mengusai angkasa. Aku berjalan pelan mendekati Valen yang tinggal sendiri, menempati tempat Inod sesaat yang lalu. Langit tampak sangat kelam sore itu. Begitu diam dan beku, seperti Valen yang tampak berbeda sekarang. Dingin dan tenang. Aura hangatnya tampak tersapu oleh desiran udara dingin sore itu. Satu tetes air mata tampak menetes, jatuh ke bawah dan bercampur dengan genangan air hujan. “Valen!” seruku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi kepadanya. Hatiku remuk seketika ketika melihat air mata terjatuh dari mata indahnya. Dengan tidak memandangku sedikitpun ia meneteskan kembali air matanya. Sungguh aku tidak mengerti dengannya. Tampak senyum getirnya menyungging pipi berlesung pipitnya. Aku semakin resah apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Sakit itu begitu terasa nyata ketika melihanya begitu gulita. “Valen, aku nggak suka yah kalau kamu gini!” kataku dengan ikut terisak menatap Valen dari samping. Valen menatapku balik, dan wajahnya benar-benar tepat di depan mukaku. Dan kami pun saling berhadapan. Ku temui dirinya benar-benar menangis tak terkendalikan. Wajah manisnya terusak tangis menjadi penuh air mata. Aku benar-benar tak tahan dengan itu. Ku angkat tanganku dan ku usap air matanya dengan selembut yang aku dapat. Sedang aku sendiri juga tersedu-sedu. Jiwaku benar-benar melemas sekarang, namun ku coba tegarkan untuk dia seseorang yang ada di hadapanku. Kaki-kakiku mulai kesemutan, entah apa yang menyebabkannya. Tanganku mulai dingin, dan sepertinya kerigat dingin telah benar-benar memandikan tubuhku. Jantungku, jangan ditanya lagi ia sudah tak teratur sejak beberapa waktu yang lalu. “Aku seharusnya nggak seperti ini...” ujar Valen pelan menundukkan kepalanya. Aku tak tahu yang ia maksudkan, namun begitu saja aku berefleks untuk memberinya sebuah pelukan. Dan itu-lah yang akhirnya aku lakukan. Aku memeluknya seerat yang aku bisa, aku benar-benar tak ingin kehilangannya. Namun Valen meronta, dan melepaskan pelukanku darinya. Aku semakin tak mengerti. Namun akhirnya dialah yang memeluk diriku. Dan kehangatan pun menyeruak seluruh tubuh dan jiwaku menggelora dalam segala yang ada dalam diriku “Maafin aku, De...!” pekiknya sekali lagi pelan dengan isakan yang seakan tak dapat terhenti. “Aku nggak bisa nahan ini. Maafin aku, De...!” Valen terus saja meminta maaf tanpa aku tahu apa kesalahannya. Namun aku tak perduli apa kesalahannya, yang jelas aku tahu dia benar-benar menyesali kesalahannya itu. “Iya...iya...gue maafin...!” jawabku sudah tak tahan melihatnya bersedih, sampai dengan sebegitu membuatku ngeri. Valen melepaskan pelukannya lembut, dan menatap mataku dalam. “Dewa.” Panggilnya padaku lembut. Tangannya dilepaskan dari wajahku, dan dirogohnya kantong celananya. Ia seperti mencoba meraih sesuatu. Dan tak lama telah ada kotak kecil di tangannya. Diraihnya tanganku dengan sopan. Dan diletakkan kotak kayu kecil itu di telapatk tanganku yang terbuka. Ku pegang kotak kecil itu. Dan akhirnya ku temukan senyuman di sela tagisnya. Ku pegang dan akan ku buka kotak kecil itu, kalau saja Valen tak melarangku, “Jangan kau buka sekarang!” kata Valen. Dan aku langsung menyimpan kotak kecil itu di saku celanaku. “Aku ingin mengatakan sesuatu sama kamu, De!” kata Valen dengan matanya yang nampak masih sembab. Aku hanya dapat tersenyum mengisyaratkan kata ‘Ya’ pada Valen. Sesaat jantungku mulai teratur namun begitu Valen menatap tepat ke dalam mataku, getaran hati tak mampu ku tahan. “Aku...aku...Cinta sama kamu, De.” Kata-kata itu benar-benar tak hanya sekedar menggetarkan, namun sudah sampai merenggut hatiku. segala emosi jiwa menguasaiku. “Valen.” Kataku pelan. Dan seketika itu aku sudah tak mampu bicara lagi. Valen menatapku tajam dan aku juga membalas tatapannya. Kedua bola mata kami saling bertemu. Entah apa yang ku pikirkan saat itu, aku merasa ingin agar Valen menciumku. Kalian boleh menganggap aku apa pun. Yang jelas itulah yang aku rasakan saat itu. Sungguh benar-benar terasa tak sadarkan. Ku tutup kedua mata, beharap Valen memberiku sesuatu itu. Aku merasa Valen juga akan memberiku sebuah ciuman, karena aku telah mampu merasakan nafasnya yang mulai membuat suhu tubuhku naik tak terkendali. Namun belum sempat Valen menciumku, lelaki itu melepaskan tanyannya dari gandenganku dan dia. Dan aku merasa ia semakin menjauhkan wajahnya dariku. Ku buka mataku, ku dapati ia memalingkan wajahnya lagi dariku. “Valen!” panggilku. “Maafin aku, Dewa. Aku bukan Valen.” Kata lelaki itu. Hatiku seakan berhenti berdetak dengan suara petir menggelegar di angkasa yang membuat hujan di sana semakin deras, dan petir itu juga laksana menyambar hatiku. Perih. Aku menutup mulutku dengan tanganku, dan melepaskannya lagi. Sungguh kali ini aku menemukan kebenaran di raut wajahnya, dan juga raut penyesalan dan sugguh membuat aku benat-benar sakit hati. “Maafin aku, De! Aku bukan Valen aku Tino, Velentino adik kembar Valen!” kata sosok lelaki yang mengaku bernama Tino. Valentino mengeluarkan sebuah foto dari sakunya. Ditunjukan foto dua orang bayi kembar. “Ayah dan Ibu kami bercerai ketika kami masih kecil. Aku ikut bersama ibu dan Valen ikut ayah.” aku Tino yang kembar identik dengan Valen. “Dan dimana Valen, sekarang?” tanyaku dengan masih terpukul. Sungguh tak kusangka aku telah benar-benar mencintai dia yang penuh kebohongan. “Valen, sudah meninggal setahun yang lalu. Kebocoran jantung telah benar-benar merenggutnya dari kami, dari ku, dan juga...dari kamu!” kata Tino dengan wajahnya yang tertunduk. Keterangan Tino membuat aku semakin terpukul, getaran cinta telah berubah seketika menjadi sebuah pukulan menyakitkan yang senantiasa membuat jantungku tersayat dan tercabik menyakitkan. Aku semakin tak kuasa menahan kesedihan. Selangkah demi selangkah ku jauh kan diriku dari Tino. Terus melangkah ke belakang, dan akhirnya berbalik dan berlari menyusuri latai keramik dingin dengan suara gaduh hujan yang masih senantiasa untuk selanjutnya mengiringi langkahku. Tangga ku turuni dengan cepat. Tanpa berfikir bahkan untuk sedetik pun aku terus berlari. Bahkan di bawah derasnya hujan aku terus berlari. Beberapa anak PI melihatku dalam rinai hujan. Namun mereka tak sempat untuk mencegatku. Seluruh tubuhku dijatuhi air hujan yang bercampur dengan air mataku. Aku terus berlari tanpa kendali. Entah kemana tujuannya aku tak lagi perduli. Emosiku meluap dasyat sungguh mengerikan. Di bawah hujan aku terus menangis. Menangisi apa yang layak ku tangisi...hidup...
Hari satu persatu ku lalui. Tak pernah ku temui lagi Valen atau Tino dalam dua hari pasca kejadian 10 Februari itu. Tanggal 10 itu adalah tanggal ulang tahunku. Selisih empat hari dengan Valen atau pun Tino tentunya. Dan 14 Februari adalah hari milik keduanya. Sampai di rumah tanggal 10 Februari, ada kejutan istimewa dari orang tuaku. Sungguh ku coba untuk menyembunyikan segala kesedihan yang baru saja ku alami, dan menikmati pertambahan usiaku dalam hangatnya keluarga. Endra tak lagi menampakan batang hidungnya setelah aku putuskan dia pada tanggal 11-nya. Ia tak terlihat bersedih dan aku pun demikian. Putusnya kami dengan cara yang bisa dibilang baik-baik, kami saling mengucapkan terimakasih dan bersalaman, mungkin karena Februari yang penuh cinta ini ia menjadi tidak sekasar seperti yang ku kenal. Mungkin juga karena sekarang ia telah mendapatkan yang lebih baik dariku, seorang ketua Rohis putri di sekolah kami. Entah apa yang di perbuat Sang ketua Rohis putri sehingga membuat lelaki yang satu menjadi berubah total dari kepribadiannya yang dulu. Dan aku turut senang untuk itu.
14 Februari 2009, tepat hari Valentine tahun ini. Dengan tiga hari yang berjalan dengan normal seperti ketika hidupku belum memasuki Februari, ku merasa 14 Februari ini akan sama saja dengan tahun-tahun sebelumnya. Meski hari ini tidak bisa ku pungkiri kalau aku teringat dengan dua sosok yang ku kenal, Valen dan Valentino. Tak dapat ku elakan lagi kerena hari ini adalah hari ulang tahun mereka berdua. Dan aku hanya dapat megucapkan selamat ulang tahun di balik jendela kamarku dengan menatapi horizon sore dengan sedikir gerimis yang memberinya kilauan indah.
Malam ini aku merebahkan tubuhku dengan santai diranjang hangatku. Mengenang beberapa hari terindah dan tertak menyenangkan yang ku alami beberapa waktu yang lalu, mengingat dua bayagan yang terus mengikutiku. Teringat Valen dan Tino aku terigat satu hal. Ku beranjak dari kamarku keluar mencari-cari yang segera ingin ku temukan. Celana Olahragaku. Sebenarnya bukan itu yang ingin ku temukan tapi isi kantongnya. Kotak kecil yang di berkan Valentino tanggal 10 Februari. Itu membuat aku penasaran. Akhirnya ku temukan celana olah ragaku masih tergantung di tali jemuran. Ku ambil celana itu dan kuambil isi kantongnya. Kotak kecil itu masih ada. Ku buka kotak itu dengan segera, seraya berlari ke kamarku ku coba menemukan isinya. Ku rebahkan tubuhku dan sekarang aku benar-benar berkonsentrasi dengan isi kotak itu. Cincin. Cincin perak yang indah. Ku letakkan lagi di tempatnya dan ku temukan ada sepucuk kertas di bawahnya, yang sepertinya sebuah surat. Ku buka surat itu dan mulai ku baca isinya: Selamat ulangtahun Dewa. Ini surat dari ku Valentino. Maafkan aku telah tak jujur pada dirimu sejak awal. Aku hanya tidak ingin membuat dirimu kecewa dengan tidak adanya keberadaan Valen. Aku ingin tak muncul dalam hidupmu, tapi hasrat Valen membuatku harus melakukannya. Asal kamu tahu dia sangat mencintaimu, Dewa. Puisi yang ia buat sampai sekarang masih ku simpan dan beberapa aku kirimkan keifent- ifent dan akhirnya di muat dalam buku yang kau baca beberapa saat yang lalu di Granmedia. Ia sangat mengagumi dan memujamu. Dan itu seakan menurun kepadaku, menjadi peninggalan berharga untukku. Dan sekarang aku menemui perasaan luar biasa dalam sanubariku yang tidak dapat ku elakan lagi. Aku juga telah jatuh cinta, benar-benar jatuh cinta kepadamu, Dewa. Cincin ini adalah peninggalan Valen untukmu. Itu hakmu dan sudah ditanganmu. Oh, ya selamat hari Valentine, Dewa. Hari Valentine seperti yang kau tahu adalah hari ulang tahunku dan Valen. Dan satu-satunya hal yang ku harapkan untuk ulang tahunku adalah aku ingin bertemu dengan mu meski untuk terakhir kalinya. Dan setelah itu kau boleh tak menganggapku diriku. Tapi ku mohon di hari ulang tahunku saja...
Akan menunggumu sampai hari Valentine tahun ini habis(pukul 00.00, 15 Februar 2009) di air mancur depan Stadion Manahan...Aku benar-benar menunggumu...dan benar-benar ingin bertemu denganmu....[14 Februari 2009]
Setelah membaca surat itu aku langsung saja tanpa pikir panjang, beranjak dari ranjang mengambil kunci motor dan motor merahku mulai menjejaki dinginnya malam itu dengan kecepatan semaksimal yang ku dapat. Kotak cincin, juga suratnya telah berada dalam saku celanaku. Jalan ramai penuh sesak, dengan para muda mudi yang ingin merayakan hari kasih sayang ini dengan berjalan-jalan menyusuri jalanan kota Solo. Aku merasa sedikit panik dengan suara klakson di sana sini yang terus saja menggema tanpa henti. Sampai di taman dekat terminal Tirtonadi di sanalah puncak kemacetan yang kudapat. Kendaraan berjubel di sana. Aku terjebak di keramaian tidak dapat maju atau pun mundur. Tak kusangka perjalanku akan terasa begitu lama daripada saat aku berangkat sekolah seperti biasanya. Asap dari beberapa kendaraan membuat aku sedikit pusing dan sesak. Jam tanganku menunjukan pukul 23.30. sangat lama sekali perjalanku kali ini, berangkat pukul 21.00 dan sampai sekarang belum tiba juga di tempat tujuan. Satu jam kemudian akhirnya aku dapat bergerak meski dengan merayap-rayap pelan. Namun itu sudah cukup dari pada harus benar-benar tak bergerak sama sekali. Jantungku berdebar kencang dengan memandangi jam tanganku beberapa kali. Berharap aku bisa tepat waktu samapi disana. Sejujurnya kau juga tak ingin membuat Valen atau siapalah, Valentino merasakan yang disebut sakit hati. Dan sesungguhnya juga ada perasaan indah sejak aku mengenal sosoknya. Cinta. Oh, akhirnya aku memang merasakan Cinta. Aku ingin segera bertemu dengannya dan mengatakan ‘Aku Cinta Kamu’ padanya. Yah, itulah yang ku ingini. Gerakku dapat lebih cepat dari sebelumnya. Ketika melewati sekolahku ku temukan atmosfer indah terpancar. Dan begitu aku memasuki Taman Stadion Manahan terdapat keramaian yang luar biasa. Sampai aku begitu bingung dengan banyaknya orang di sana. Tempat pertama yang ingin aku jamah adalah air mancur. Namun tempat itu begitu sesak. Ku parkir motorku sembrang dan langsung aku berjalan-jalan mencari celah mencoba mecari seorang lelaki manis yang beberapa hari tidak ku dapatkan senyumnya. Dan itu yang membuat kau benar-benar merindukannya. “Valen!” panggilku pelan di tengah keramaian. “Valentino!” panggilku lagi dengan lebih bertenaga. “Valentino!” panggilku untuk kedua kalinya. “Tino!” panggilku sudah hampir putus asa. “Valen!” aku mencoba mencari sosoknya. “Dewa!” seseorang menyebut namaku dari arah belakang. “Valentino!” aku memberi ia sebuah pelukan. Tiga hari tidak menemukan sosoknya, membuat ku benar-benar merindukannya. “Ayo pergi dari sini!” ajak Valentino. “Oh, sial sebenarnya mau buat kejutan untuk kamu. Tapi ternyata banyak orang jadi nggak bisa!” keluh Valentino. “Kita mau ke mana?” tanyaku dengan sedikit berteriak agar sampai ke pendengaran Valentino. “Ke sekolah kamu. Anak-anak di sana.” Jawab Valentino juga dengan sedikit keras. Dan sampailah kami di gerbang sekolah dengan motor merah kesayanganku yang kami dibuat berboncengan. Di sekolah telah berkumpul anak-anak PI dari SMK 2 dan juga SMK 5. mereka mengadakan pesta kembang api di halaman dengan beberapa roti yang terpanggang, juga berbagai cemilan di atas tikar yang mereka gelar. Beberapa anak membeli martabak di depan SMK 2 dan beberapa satpam yang berjaga malam terlihat ikut bergabung dengan para anak muda itu. jalanan yang ramai dan gemerlap membuat suasana bergelora di malam Valentine itu.
Aku dan Valentino duduk agak menjauh dari anak-anak. dan untuk ke dua kalinya lelaki itu menyatakan cintanya padaku. senyum manisnya membuat aku tak kuasa untuk berkata tidak, belum lagi hatiku yang 100% mencintai dia. Oh, Valentino Aku Cinta Kamu....
Ssstttsss... di saat itu aku benar-benar mendapatkan ciuman darinya...ciuman pertamaku, di 14 Februari 2009 dengan lelaki yang bernama Valentino. Oh, Biarlah itu jadi rahasia kami berdua... @@@ selamat valentine 2009

Jumat, 09 Januari 2009

WPS (Wira Paksi Sakti) Diary part 1
Reorganisasi in Sekipan, Tawangmangu....

Cah...WPS ni buat kalian nih...!
jangan pada protes yah aku pinjem nama-nama kalian....
gak papa tho?
apa lagi buat Ma'e (Harrinanie) and Pa'e (Ecca)....
jangan pada marah yah...
yang penting jangan pada minta royalti juga...

I LOVE YOU ALL DEH....
ATAS NAMA BANGSA DAN NEGARA SERTA WIRA PAKSI SAKTI KAMI BERJANJI SIAP MELAKSANAKAN TUGAS SETIAP SAAT...
ATAS NAMA BANGSA DAN NEGARA SERTA WIRA PAKSI SAKTI KAMI BERJANJI SIAP MELAKSANAKAN TUGAS SETIAP SAAT...
ATAS NAMA BANGSA DAN NEGARA SERTA WIRA PAKSI SAKTI KAMI BERJANJI SIAP MELAKSANAKAN TUGAS SETIAP SAAT...

Itulah sumpah yang terucap dari bibir kami beberapa detik setelah kami dilantik menjadi seorang WPS. Setelah menjalani diklat panjang selama satu bulan penuh dan akhirnya terpilihlah kami sebagai penerus nama WPS (Wira Paksi Sakti) SMKN 2 Surakarta. Banyak hal yang kami lalui selama diklat itu. Banyak susah senang yang kami hadapi bersama. Mulai dari dibentak-bentak senior yang sekarang kami telah terbiasa akan hal itu, push up di aspal saat matahari tepat berada di atas kepala kami, sampai dengan air putih yang harus kami bagi satu baris atau satu saf setiap gelasnya pada hari-hari di masa diklat itu. Yah, masa itu penuh penderitaan, tapi juga penuh kenangan indah. Disaat itu kami diajarkan untuk saling menghargai, saling percaya, dan selalu saling setia dan sekarang hal itu terikat erat dengan kami tiga puluh enam anggota WPS 2008. Wira Paksi Sakti atau masyarakat awam lebih mengenal dengan sebutan Paskibra atau PI (Pasukan Inti) adalah bagian dari hidup kami sekarang, bagian dari setiap hal dari kami, dan itulah yang sangat berharga yang menyatukan kami yang dari segala penjuru dan bersatu di sini menjadi satu keluarga besar yang utuh, WPS 08 SMKN 2 Surakarta.
Sesungguhnya masa-masa diklat yang kami alami itu adalah belum apa-apa dibandingkan yang akan kami hadapi selanjutnya. dalam perjalanan kami sebagai keluarga besar WPS. Namun di sini aku tidak akan menceritakan bagaimana perjalanan WPS kami sampai sekarang dengan berbagai problematikanya. Tapi lebih pada hal yang sangat khusus yang kami alami selang beberapa waktu setelah diklat itu sendiri. Kejadian yang menimbulkan kesan yang amat mendalam pada setiap sanubari kami. Dan inilah awal mula sebenarnya dari perjuangan kami, Reorganisasi di bumi perkemahan Sekipan, Tawangmangu....
there were sweet memories there...
***

“Zay, gimana apa semua beres?” tanya Yufar kepada komandannya Zaenal Abidin (Komandan WPS 07 SMKN 2 Surakarta). “Nggak semudah yang kita kira, Far?” kata Zaenal lemas. ”Maksud loe apa, Nal?” sahut Nissa anggota WPS 07 yang juga PPI Solo bersama rekan seangkatannya Yufar dan Ari. “Izinnya Pak Bambang nggak keluar.” Kata Zaenal sambil menatapi kedua anak buahnya. Mereka terdiam sesaat. Dari luar lorong jalan menuju mes WPS tempat Zaenal, Yufar, dan Nissa sekarang, terdengar langkah kaki seseorang. “Dead, kita nggak dapat izin dari WKS 2!” adu Nissa sesaat setelah melihat sosok yang baru ikut bergabung dengan mereka. Deady, Danton empat Angkatan 2007 itu tampak memanas sesaat setelah mendengar yang dikatakan rekannya. “Apa sih maunya WKS 2 (Wakil Kepala Sekolah 2)? Udah diklat anggaran nggak turun! Mau Reor yang nggak minta duwit sepeser pun dipersulit! Apa sih susahnya ngasih izin doang? Heran gue!” ucap Deady dengan geram, kepalan tangannya menjadi mengeras. Ketiga temannya yang mendengar ucapan Deady pun hanya bisa diam. “ Trus, apa tindakan kita selanjutnya?” tanya Yufar akhirnya. “Reor ini harus terus berlanjut. Semuanya sudah siap kendaraan, tempat, barang-barang, dan yang paling penting adik-adik kita sudah sangat menanti Reor ini setelah diklat panjang mereka. Kita tidak bisa membuat mereka kecewa, itu sangat tidak adil buat mereka.” Zaenal dengan mata berapi-api. “Sekarang kalian lanjut aja beres-beres dan siap-siapnya, aku akan minta bantuan pada kelas tiga. “Kelas tiga? Loe nggak salah, Nal?” pekik Nissa heran sekaligus tidak yakin. “ Udah, percaya aja sama Zaenal, Niss!”Nasehat Yufar. Dan akhirnya Zaenal beranjak dari teman-teman mereka, dengan penuh pengharapan ia mencari senior kelas tiga, dan orang yang pertama kali ia pikirkan untuk ditemui sekarang adalah Umar ketua Osis sekaligus ketua WPS angkatan 06.
Di sudut lain, Harrinanie bersama dengan teman-teman satu kelas yang juga anggota WPS 08 Dyah Tri, Theresia, dan Suriyah mengadakan pembicaraan informal di depan kelas mereka. “Gimana nih? Absen kita dialfa. Padahalkan kita nggak mbolos.” Suriyah berbicara. “Mungkin salah kita juga, diklat dari pagi tanpa masuk kelas dan meminta izin guru yang mengajar terlebih dahulu!” tanggap Theresia. “Tapi seharusnya ada surat dispensasi buat kita! Bukankah itu yang dijanjikan senior kelas dua?” tambah Dyah Tri. “Iya, aku juga menyesalkan hal itu, apalagi tidak hanya kita yang dialfa. Anak-anak WPS kelas lain pun juga mengalami hal yang sama dengan kita. Tapi kita juga tidak boleh sepenuhnya menyalahkan kelas dua. Karena mungkin mendapatkan surat dispensasi itu tak semudah yang kita kira.” Harrinanie berusaha menguasai amarah teman-temannya. “Eh, itu kak Ratri! Biar aku tanyakan tentang masalah ini sama dia. Mungkin dia tau apa yang sebenernya menjadi penyebab dari masalah ini!” Harrinanie beranjak dari tempat bersilanya tadi.”Kak! Kak Ratri!” teriaknya memanggil Ratri, dengan berlari mengejar sosok yang ditujunya itu. “Nanie? Ada apa?” tanya Ratri menyadari ada yang memanggilnya. Nanie berhenti tepat di depan salah satu kakak seniornya itu. “Eee... gini, Kak!” Harrinanie agak bingung mengungkapkan maksudnya. “Iya, ada apa? Katakan aja!” Ratri memancing adik juniornya itu untuk bicara. “Anu...Kak! ini soal Dispen Kak? Absen kita dialfa, gara-gara diklat saat hari Rabu itu. Kata guru yang mengajar kelas kita, waktu itu nggak ada surat dispensasinya.” Jelas Nanie. ”Oh, maafin kita yah Dik!” Sesal Ratri. “ Memang pas hari Rabu itu kami nggak dapet surat dispensasi buat kalian. Dan sebenernya...” Ratri agak ragu melanjutkan kata-katanya. Sedang Harrinanie menunggu. “Dan...surat dispen buat hari Senin dan Selasa itu juga sebenernya nggak ada. Kakakmu, Deady yang memalsu tanda tangan Pak Bambang buat kalian. Tapi, saat hari Rabu itu Deady nggak bisa malsu lagi, soalnya guru-guru udah mulai curiga. Maafin kita yah, Dik!” Terang Ratri secara blak-blakan. Mendengar perkataan kakak seniornya yang seperti itu hati Nanie menjadi terpukul hebat. Jantungnya berdetak kencang sekali. Tapi, dihatinya juga terbesit rasa haru dan simpati terhadap kakak-kakaknya yang telah berkorban seperti itu untuk mereka bertiga puluh enam. “Dan...Hal seperti itu, soal dispensasi dan yang lainnya itu juga pernah kami alami, Dik! Dan mungkin hal seperti itu tidak menutup kemungkinan untuk terjadi lagi baik ditahun kalian maupun tahun-tahun selanjutnya. Sebenarnya masalah seperti itu belum apa-apa dibanding hal-hal yang akan kalian hadapi selanjutnya. Masalah intern WPS akan lebih berat nantinya dibanding masalah-masalah luar WPS seperti ini. Kamu harus siap untuk menghadapi hal itu. Dan aku mohon ingatkan teman-temanmu untuk selalu menjaga persatuan dan kebersamaan WPS 08 ini. Dan bila kalian bisa menanamkan itu dalam diri kalian dalam-dalam, maka kalian bisa disebut berhasil menjadi seorang WPS sejati...” Jelas Ratri sambil memegang bahu Nanie. Dan segera melangkah meninggalkan adiknya yang masih sibuk mencerna apa yang ia katakan. Nanie terus berpikir, dan kata-kata ’Masalah intern WPS akan lebih berat nantinya dibandingkan masalah-masalah luar WPS seperti ini. Kamu harus siap...Kamu harus siap...Kamu harus siap...’ terus terngiang-ngiang di benaknya.
“Oh, apakah akan sesulit itu jalan yang akan kami lalui?” tanyanya pada dirinya sendiri. Tidak ada jawaban, hanya terdengar suara angin yang bertiup menghembus kacamatanya yang sudah mulai berembun. Diambilnya tisu dari sakuya. Dilapnya kacamatanya itu, seraya ia benahi juga jilbabnya yang dihembusi angin siang itu.
“Siang semuanya!!” teriak Zaenal mencoba sesemangat mungkin pada adik-adiknya yang telah membentuk barisan rapi dengan berbagai ransel berukuran besar di punggung mereka. “Yah, kini kita akan memulai perjalanan kita ke...Bumi Perkemahan, Sekipan, Tawangmangu...” teriaknya lagi, dan disambut riuh tepuk tangan dan teriakan anak-anak. Harrinanie terlihat paling tenang diantara teman-temannya, ia hanya menampakan senyum tipisnya. “Nanie, kamu sudah bawa obat?” bisik seseorang dibelakangnya yang ternyata adalah Kak Nissa. “Sudah, Kak.” Jawab Nanie juga dengan berbisik. “Kamu harus jaga kesahatanmu ya...Nie, jangan sampai asma kamu kambuh di sana nanti!” Lanjut Kak Nissa. Nanie hanya mengangguk pelan. Nanie memang mengidap asma sejak beberapa tahun yang lalu. Dan ketika diklat WPS dialah yang terlihat sering sakit-sakitan dan beberapa kali juga asmanya kambuh, tapi meski begitu dia terpilih menjadi pasukan delapan pengibar bendera tengah angkatan 08, yang memang posisi itu tidak sembarang orang bisa memilikinya.
“Adik-adikku semua, perlu kalian ketahui...” Zaenal mulai bicara lagi namun kali ini nada bicaranya agak serius, sehingga anak-anak menjadi sedikit tegang dan tenang. “Sebenarnya aku tak ingin menyampaikan ini pada kalian. Namun kalian harus dan mesti tahu yang sebenarnya! Kami tahu ini sedikit mengecewakan, tapi hal ini tak akan membuat jalan Reor kita terheti disini. Yah, adik-adikku...” Zaenal menghela nafas sebentar. “Sebenarnya perjalanan kita ini tidak mendapat persetujuan dari pihak sekolah, dan artinya perjalan kita kali ini adalah ilegal...” Berita Zaenal itu membuat adik-adiknya riuh kembali, tapi riuh kali ini bernada kecewa. “Namun tenang saja kita akan tetap berangkat. Saya dan dari pihak senior kelas tiga telah berhasil membujuk dua orang guru untuk menjadi pelindung kita. Dan dua orang itu yang tidak lain dan tidak bukan adalah Pak Buche dan Pak Tiranto, beliau-beliau akan mengusahakan izin kita selagi kita Reor di Sekipan. Jadi sementara ini kita pergi tanpa izin dari sekolah. Dan kemungkinan besar izin itu akan keluar nanti saat pelaksanaan Reor.” Lanjut Zaenal dan disambut sedikit kelegaan dari angkatan 08. “ Baik, sebelum kita benar-benar berangkat Bapak Tiranto dan Bapak Buche akan menyampaikan beberapa pesan untuk kita.” Terang Sang Komandan 07, yang kemudian menyiapkan adik-adiknya menggiring mereka ke depan ruang olahraga dan menyikap dudukan mereka. Di sana sudah berdiri beliau-beliau yang secara suka rela menjadi pelindung kepergian para WPS ini. Tanpa memperpanjang waktu Pak Tiranto menyampaikan beberapa pesan-pasan singkat kepada anak-anaknya khususnya angkatan 08, dan dilanjutkan pula oleh Bapak Buche.
Pukul setengah tiga sore mereka, para rombongan WPS SMKN 2 Surakarta berangkat dengan sebuah truk beranjak meninggalkan pintu gerbang sekolah, mereka diiringi lambaian tangan para satpam sekolah, Bapak Tiranto serta Bapak Buche. Dan inilah awal dari pengalaman yang akan mereka alami di Sekipan Tawangmangu. “Sekipan we are coming” kata itulah yang mereka pekikkan dengan penuh semangatnya ketika memulai perjalanan. Sangat bersemangat dan menggembirakan sehingga mereka melupakan permasalahan mereka sejenak, dan menggantinya dengan jiwa bebas dan lepas yang mereka rasakan sekarang.
***

Matahari telah condong ke arah barat. Tepat di belakang membuntuti truk yang membawa rombongan anak-anak muda yang penuh gairah petualangan. Dan akhirnya truk itu berhenti setelah memasuki kawasan Bumi Perkemahan. Semuanya turun dari kendaraan yang kurang lebih mereka naiki selama dua jam tanpa istirahat. “Aduh...mana sih ni sinyal?” gerutu Fithri, WPS 08 yang berposisi sebagai Pasgas Pembaca Doa. “Mana ada sinyal, Fith! Di daerah hutan gini. Lihat aja tuh gunung-gunungnya aja tinggi-tinggi gitu nggak akan ada sinyal yang bakalan sampai ke sini!” tanggap Anita, cewek TMO (Tekhnik Mesin Otomotif) yang baru aja belajar pake jilbab. Biar tomboy tetep nggak lupa Tuhan, begitulah semboyannnya. Dia memang kocak anaknya, tapi disaat serius dia akan terlihat paling serius diantara yang lainnya. “Iya, Dek disini tuh nggak bakalan ada sinyal!” tambah Kak Dyah yang muncul secara tiba-tiba ikut andil pada pembicaraan adik-adiknya. “Eh, udah yang pada ngobrol ayo angkat tu barang-barang kalian. Kita masih harus jalan satu kilo lagi nih!” Kata Kak Ari, mengangkat tas punggungnya yang besar, menggendongnya kemudian diambil juga beberapa buah tikar untuk ia pikul. “Masih jalan satu kilo?” teriak Fithri nggak percaya. “Apa kita nggak pasang tenda di sini aja, Kak?” Tanya Anita sama terkejutnya dengan Fithri. “Nggak, Dik. Soalnya WPS SMK 2 tuh punya tempat Reor khusus, yang turun temurun tempatnya ya di situ-situ aja. Nggak bakalan bisa pindah sembarangan!” Jelas Kak Dyah. ”Udah, ayo jalan! WPS tuh pantang meyerah dan selalu bersemangat!” bujuk Kak Nissa berusaha mendapatkan keyakinan adik-adiknya. Dan jalan menanjak yang ada di depan mereka pun siap didaki.
“Ca, Si Nanie, tuh!” Bisik Kak Roofi kepada Ecca Komandan angkatan 08. Ecca menoleh ke arah Nanie, kemudian memandangi Kak Roofi. “Udah sana bantuin loe nggak maukan asmanya kambuh! Bisa Gaswat nantinya! Kaya gini nih...” Roofi menirukan gaya Nanie kalo pas lagi kambuh asmanya. Satu tangannya ditaruh di dada, sedang tangannya yang lain diulurkan ke depan. Nafasnya dibuat tersegal-sengal mungkin. Merasa dibicarakan Nanie pun angkat bicara, ”Kak, Roofi! Apa-apaan sih...?” Anak-anak yang melihat tingkah Kak Roofi menjadi geli sendiri. “Nie, ginikan loe kalo lagi kumat...” Kak Roofi jadi tambah gila niruin gayanya si Harrinanie. “Bang, Bang Roofi! Keren banget tu gaya loe. Bisa ngalahin gayanya si Giring Nidji tuh Bang!” Teriak Kak Georgina dengan tertawa geli.
Ecca yang sejak tadi memperhatikan Nanie, mulai berjalan mendekatinya. Jiwa kepemimpinan dan pelindungnya telah merambahi dirinya. “Nie, sini biar gue bantuin bawaain bawaan loe!” tawar Ecca. “Eh...E...Em...Nggak usah Ca!” Nanie sedikit salah tingkah juga. “Cie, Cie, kaya’nya bakalan ada cinlok lagi nie!” kata Suriyah Pasgas Pembaca Undang-Undang angkatan 08, dan juga diiyakan anak-anak lainnya yang mendengarnya. Dua sejoli itu Nanie dan Ecca menjadi semakin salting sendiri. “Cinlok lagi? Emang udah ada yang cinlok?” Harrinanie berusaha mengalihkan pembicaraan tentang diriya, sedang ia sendiri sedang berusaha menguasai saltingnya. “Lihat tuh...” Kata Ayu anggota Pasukan tujuh belas 08, sambil melirik ke arah Arofah dan Nofiq yang sedang berjalan berdampingan. “Mereka udah jadian lagi!” tambah Ayu. “Sialan, gue ketinggalan berita nih! Kapan Arofah sama Nofiq jadian?” Suriyah kesal karena baru tahu mengenai hal itu. “Wah, wah...WPS jadi kotak jodoh nih!” tambah Pradipta cewek cuek yang bertugas sebagai ajudan tanggal 17 Agustus lalu. Arofah yang merasa namanya disebut sebut, seketika menoleh ke arah teman-temannya yang tanpa ia sadari sebelumnya telah memperhatikan mereka berdua, ia dan Nofiq sejak tadi. “Eh, Fah! Kapan loe jadian sama Nofiq? Kok nggak pernah cerita-cerita sih? Takut gue mintain traktir yah?” Teriak Suriyah keras sehingga menarik perhatian beberapa senior. “Nofiq jadian sama Arofah?” kakak senior cewek jadi terheran-heran. Memang sih kedekatan Nofiq dan Arofah sudah terlihat sejak diklat WPS, tapi mereka nggak menyangka kalau Si Nofiq bakalan jadian beneran sama Arofah. “Eh..Eh...siapa juga yang jadian sama Nofiq? Ye...orang kita belum jadian ya Fiq?” Arofah mencoba membela diri. “ Belum? Jadi nanti mau donk? Ye...Arofah mau jadian sama Nofiq tuh temen-temen!” tambah Astuti si Dirigen angkatan 08, membuat wajah Arofah menjadi memerah. “Eh, apaan sih? WPS tuh, satu keluarga nggak ada yang boleh pacar-pacaran atau saling jatuh cinta! Kitakan saudara masa’ sesama saudara saling jatuh cinta sih? Nggak lucu tau!” kata Arofah nglotot agar temen-temennya berhenti memojokannya. “Yakin nggak boleh pacaran? Siapa bilang? Buktinya sama sama WPS juga ada yang jadian, tapi nggak satu angkatan sih!” Deady angkat bicara ikut nimbrung sama pembicaraan adik-adiknya. Kak Ratri dari angkatan 07 dan Kak Umar dari angkatan 06, menatap tajam secara bersama-sama ke arah Deady. Deady cuma bisa nyengir kuda. Ternyata sindirannya tepat mengenai yang dimaksud.
Mentari sudah diambang kekelamannya. Bintang dan bulan menguasai angkasa saat itu. Para rombongan masih sibuk mendirikan tenda mereka dan berbenah, tidak ada asap mengepul, tidak ada lampu badai yang menyala, hanya sorotan-sorotan senter yang sejak tadi berputar-putar bergantian menyinari tempat itu. “Kaya’nya kita kemalaman deh, Dead. Uh, mana nyamuknya banyak banget!” keluh Ririana yang sibuk mengolesi kulitnya dengan lotion anti nyamuk. “Dead, gue laper, nih!” Keluh Dyah yang baru saja membantu adik-adiknya bersama Ismi membangun tenda tapi belum selesai. “Iya, nih Dead! Mana gue udah capek banget nih! Pengen cepet-cepet tidur, tapi lihat tenda kita aja malah belum jadi!” keluh Ully. “Lho, lho... para gadis-gadis kok mengeluhnya ama Aa siy? Emang Aa ini apa bisa ngabulin semua permintaan kalian? Ibu peri? Pesulap? atau penyihir?” Jawab Deady sekenanya sambil sok-sokan. ”Iya wajah loh tuh mirip kakek sihir! penyok sana sini!” Teriak Ardian yang muncul tiba-tiba dan langsung menyoroti wajah Deady dengan senter yang ia bawa. “Sialan loe, Ar!” Ujar Deady kesal, dan dijitakinya kepala temannya itu sambil loncat-loncat. Karena memang kakak senior WPS yang satu ini punya masalah soal tinggi badan. Udah gitu yang paling menonjol dari wajahnya adalah alisnya yang super tebel plus aneh, tapi toh, nambah wajahnya menjadi semakin cute dan unik. Dan kalau ditanya soal ketegasan dan keseriusan saat PBB dialah ahlinya.
***
Dua tenda cowok telah siap. Berdiri tegak, dengan sesuatu seperti parit yang mengelilinginya. Berada di tanah yang sedikit lebih rendah dari tenda cewek. Lampu badai mereka nyalakan, mereka pasang di depan tenda masing-masing. Memang untuk cowok dibagi menjadi dua kelompok tenda. Karena jumlah mereka yang dua puluh empat, jadi satu tenda diperuntukkan untuk dua belas orang. Sedang untuk putri dijadikan satu tenda, jumlah mereka dua belas orang bila saja semua bisa ikut. Namun sayangnya saat itu anggota WPS cewek harus merelakan dua teman mereka Istiqomah Tafakur pasukan delapan pengganti pengibar bendera tengah dan juga Dyah Tri anggota pasukan tujuh belas untuk tidak turut serta karena alasan masing-masing.
Pendi si Danton 2 duduk-duduk di depan tendanya sambil bermain gitar acoustic yang ia bawa. “Eh, kaya’ denger ada yang maen gitar?” Kata Ayu yang mendengar lamat-lamat orang bermain gitar. “Iya...ada suaranya tapi kok nggak ada orangnya sih?” tambah Suriyah mencoba menajamkan penglihatan dan pendengarannya di tengah gelapnya keadaan di sekitar mereka. “jangan-jangan hantu lagi...” Sahut Fithri yang agak merinding juga. “Eh, jangan asal ngomong dong! Ini di hutan tau, kita nggak boleh nyebut-nyebut nama-nama kaya’ gitu. Nanti kalau kejadian beneran bagaimana?” Harrinanie menasehati sembari mengencangkan tali-tali tenda di depannnya. “Eh, tapi suara apaan tuh? Tambah kenceng aja perasaan!” tanya Suriyah pada teman-temannya. “Yang hilang...biarlah hilang...yang pergi,“ terdengar suara itu melantunkan lagu dari New Eta, Tujuh Sumpah. “Lihat tuh depan tenda cowok!” kata Nanie menemukan asal suara itu. Perhatian mereka langsung tertuju ke arah yang dimaksud Nanie. Terlihat sesosok anak laki-laki mengenakan jaket tebal sambil menenteng gitarnya. “Eh, Pendi bukan tuh?” tanya Suriyah sambil mencari bentuk anak laki-laki yang hanya diterangi lampu badai itu. “Oh, iya Pendi!” kata Ayu. “Pantesan nggak keliatan! Orang item kaya’ dia meski tengah hari bolong pun sering nggak kelihatan bentuknya, apa lagi gelap-gelap kaya’ gini!” tambah Ayu. “Eh, Pen! Sini dong loe, bantuin kita! Malah gitaran di situ! Kita belum selesai nih!” pinta Nanie yang masih sibuk dengan tali temalinya. Pendi segera tanggap, “Iya, iya... gue panggil anak-anak dulu deh!” Pendi masuk tenda untuk mengajak beberapa orang anak.
“Eh, Arofah mana?” tanya Nanie yang sedari tadi tidak melihat batang hidung dara cantik yang satu itu. “Dan There, Pradipta, Yenny, sama Astuti kemana mereka semua?” tambah Nanie. “Iya nih! Kemana sih tuh mereka? Apa jangan-jangan si Arofah mojok sama Nofiq lagi! Kan kesempatan yang bagus nih, gelap-gelap gini!” Tambah Anita. “Enak aja...jangan asal nuduh dong! Gue disini tau!” jawab suara dari arah dalam tenda. “Eh, ngapain loh di dalem tenda! Tendanya belum bener nih!” Sergah Ayu. “Gue lagi cari tembakau tau, sama Theresia, buat ditabur-taburin di sekeliling tenda, iya nggak Ther?” Jelas Arofah yang sedang membongkar-bongkar tasnya, dan diiyakan Theresia. Sedetik kemudian Arofah dan There sudah keluar dari tenda. ”Nah, nih dia sulit banget nemuinnya. Habis gelap baget sih di dalem, jadi lama nyarinya!” Arofah sembari menunjukan plastik yang berisi tembakau itu. “Biar nggak kemasukan lintah ya, Fah?” tanya Suriyah. “ Kata Kak Nissa sih begitu!” Jawab Arofah. “ Ya udah sini biar gue taburin!” sahut Yenny yang baru datang bersama Astuti. “Oh iya lampu badai kita kan pecah? Aduh gue lupa lagi! Nanti kita terpaksa tidur gelap-gelapan dong nih!” Nanie baru saja teringat soal lampu badai yang pecah gara-gara kedesak-desak waktu perjalanan tadi. “Ya, justru itu tadi gue sama Astuti nyari senior kelas dua buat pinjem lampu badai, Tapi ternyata hasilnya...nihil, kelas dua nggak punya lampu badai satu pun, tendanya aja belum bener!” Jelas Yenny “sekalian juga nganterin Pradipta ke tempat senior. Kan tadi dia sakit gitu, jadi kata kak Ratri nanti disuruh tidur di tenda Senior buat sementara waktu.” Tambahnya.
“Hey, girls! Sekarang apa yang bisa kita-kita bantu?” tanya Pendi yang datang bersama Ecca, Nofiq, dan Abdur. “Bawa siapa loh Pen? Jangan-jangan anak king Kong loe bawa ke sini lagi!” Nanie memperhatikan arah datang Pendi, terlihat wujud-wujud yang kabur. “Iya sih ada satu yang anak king Kong! Tapi loe pasti bakalan seneng Nan, kalo gue bawa anak king Kong yang satu ini!” Pendi membuat Penasaran. “Siapa...?” tanya para WPS 08 cewek hampir bersamaan. “Ecca!” Jawab Pendi santai. “Sialan loe Pen!” kata Nanie seraya menghujamkan pukulannya ke kaki Pendi yang tepat berada di depan tempat ia berjongkok sekarang. “Aduh...sakit tau! Tangan cewek apa petinju loe? Keras banget?” rintih Pendi sambil nyengir-nyengir kesakitan. Dan disambut tawa anak-anak.
***
“Sur, Suriyah bangun donk!” Bisik Harrinanie sembari menguncang-guncangkan tubuh Suriyah. “Ada apa sih, Nie?” Suriyah terbangun dibukanya matanya dengan malas. ”Perut gue sakit banget nih!” rintih Nanie. “ Kok bisa? Gara-gara makan mie yang nggak mateng tadi yah?” tebak Suriyah. “Enggak, nih gue lagi dapet. Deres banget lagi!” keluh Nanie. “Tembus nggak...?” bisik Suriyah hampir seperti mendesah. “Nggak tau, gue nggak bisa lihat, kan gelap banget nih disini! Tapi kaya’nya iya! Mana gue juga kebelet lagi” Kali ini Nanie benar-benar merasakan sakit yang luar biasa di perutnya. “Ya udah ganti aja itunya!” usul cewek yang juga berjilbab seperti Nanie ini. “Dimana? Disini? Ya nggak mungkinlah!” Harrinanie menahan rasa sakitnya. “Ya...ya...? Aduh... ya... ya... di sungai tempat kita pipis bareng-bareng tadi aja!” Nasehat Suriyah juga sama paniknya dengan Nanie sekarang. “Trus turun ke Sungainya sama siapa?” tanya Nanie. “Ya sama senior kelas dua lah! Siapa lagi yang bisa nganterin kita sekarang? Udah ayo kita jalan ke tenda kelas dua!” ajak Suriyah, sembari menarik tangan Nanie keluar tenda.
“Sialan, dingin banget sih di luar?” keluh Suriyah setelah terlepas dari bawah tendanya, merasakan hawa dingin membekukan malam itu. “Pake dulu jaket loe, Nie! Gue nggak mau asma loe kumat.” Nasehat Suriyah tapi sedikit bernada perintah. “Iya, nih gue udah pake!” Jawab Nanie. ”Udah, ayo deh gue udah nggak tahan nih!” Harrinanie semakin merintih menahan sakitnya.
Di depan tenda para senior ternyata sedang ada pembicaraan serius. Hanya bercahayakan api unggun, Zaenal dan tiga orang dari senior angkatan 06, Umar, Parikesit, dan Lasiono menjadi pusat perhatian dari himpuan para senior WPS itu. “Nggak, nggak bisa malam Eksekusi harus tetep dilaksanain!” Pekik Ratri yang tampak memanas namun tetap dibuat sepelan mungkin, seperti agar tidak terdengar oleh siapapun yang tidak ada di sana. “Gue juga nggak setuju kalau malam Eksekusi nggak dilaksanain tahun ini!” tambah Nissa. “Tapi sikon nggak mendukung kita kali ini! Kita benar-benar kurang persiapan. Peralatan kurang, sangat kurang malah, Jalan di lapangan juga belum dikondisikan!” Zaenal memberi alasan. Terlihat Ratri hampir menangis dan ditenangkan oleh Wulan dan Silviana. “Tapi, ini nggak adil buat mereka! Malem Eksekusi udah jadi tradisi kita buat...buat nentuin siapa yang bener-bener pantes. Kita nggak boleh sembarangan pilih orang! Pokoknya gue mau malem itu ada tahun ini!” Paksa Ratri tergagap. “Rat, loe mesti ngerti keadaan kita. Loe nggak boleh maksain kehendak loe sendiri seperti itu! Loe lihat kita datang kemari aja tanpa izin! Kalo ada apa-apa pasti pihak sekolah nggak mau tanggung jawab.” Umar juga ikut geram. “Jadi cuman karena loe nggak mau tanggung jawab kalo terjadi apa-apa nanti, trus malam Eksekusi ditiadakan. Ternyata nyali loe nggak segede yang gue kira, Mar! Kita ini WPS, WPS. Wira Paksi Sakti. Sadar, sadar dong!” Ratri masih keras dengan pemikirannya. “Tapi...Rat...!” lanjut Umar tapi segera terputus. “Tapi apa, Mar? Oke kalo loe nggak punya keberanian buat tanggung jawab, gue, gue, yang bakalan tanggung jawab!! Gue nggak ba...!” Ratri tak kuasa lagi menahan tangisnya, kata katanya terhenti, tangisnya pun pecah dan ia tak bisa berkata apa-apa lagi. “Tenang, tenang, Rat!” bisik Andani kepada temannya itu. “Oke sekarang kita....” lanjut Zaenal segera mengambil alih keadaan.
“Malam Eksekusi?” bisik seseorang yang tak lain dan tidak bukan adalah Harrinanie bersama Suriyah di sampingnya, yang sejak tadi tidak sengaja menguping pembicaraan kakak kakaknya. “Eksekusi? Serem banget, ih! Kaya’ mau dihukum mati aja?” Suriyah sedikit merinding. “Huss! jangan ngomong sembarangan! Kira-kira apa hubungannya ya Reor kita sama malam Eksekusi?” Nanie penasaran. “Eh, udah itu kan bukan urusan kita, Nan! Kita nggak boleh nyampurin urusan orang lain, itu lancang namanya!” Nasehat Suriyah. Nanie hanya manggut-manggut. ”Tapi penasaran juga sih! Apaan sih yang sebenernya mereka bicarain. Sampai-sampai kak Ratri dan Kak Umar jadi versus-an gitu!” Tambahnya. ”Ye...! Ternyata loe sama aja kaya’ gue!” Harrinanie sedikit sebel sama temennya yang satu ini. “Lha trus sekarang kita gimana dong?” Suriyah teringat rencana mereka keluar tenda tadi. “Jadi nggak minta ditemenin kelas dua?” Tambahnya. “Ya nggak lah! Loe nggak lihat mereka. Mereka lagi serius banget tau. Gue nggak berani, ah!” Harrinanie menatapi kakak kakaknya yang masih berhimpun. “Nah, trus gimana dong nasib kita?” tanya Suriyah. “Loe berani nggak turun berdua sama gue doang?” Nanie balik nanya. “Ya, antara berani sama nggak berani sih! Gue berani beraniin deh!” jawab Suriyah yang mulai mengumpulkan keberanianya. “Kalo gue sih nggak berani!” Jawab Nanie slengean. “Ye...sialan lo! Gue kira loe berani!” tanggap Suriyah, secara refleks menyikut perut Nanie.” Aduh, loe gila yah? Perut gue lagi sakit tau!! Malah loe tambahin.” Nanie tambah kesakitan. “ Eh, sori, sori, gue lupa!” Suriyah menyesali perbuatannya. Nanie mulai bisa meguasai dirinya kembali. “Gue nggak jadi berani deh, Nan! Jalannya kan terjal baget, mana gelap lagi. Lihat nih yang bersedia jadi pencahayaan kita cuman senter korek api ini doang! Bakalan bahaya banget nih buat kita.” Adu Suriyah yang nyalinya mulai menciut. “Trus gimana donk?” Nanie sudah tidak bisa berpikir lagi. “Lah, loe balik nanya ke gue! Kalo loe tanya gue, gue tanya sama siapa? Sama gayung? Ya udah gini aja deh kita ajak WPS cowok 08, Ecca kek atau Wibbi kek, Siapa kek?” Usul Suriyah. “Ah, Gimana sih loh! Gue kan mau itu! Masa’ ngajak cowok sih! Sarap loe!” Nanie nggak begitu sreg sama usul temennya itu. “Ya mau gimana lagi? Ngajak kelas dua jelas nggak bisa. Ngajak cewek-cewek yah kalo berani kalo nggak? Lagian gue kasihan banget sama mereka, pastinya mereka capek banget. Mana tidurnya pada pules banget lagi, gue nggak tega, ah, ngebanguninnya!” jelas Suriyah sambil nepuk nepukin nyamuk yang merubunginya. “Ya udah gih! Tapi lo ya yang ngomong!” Pinta Nanie, dan di balas dua acungan jempol Si Suriyah, “Siipp!!”
“Nan, siapa nih yang dibangunin?” Tanya Suriyah sambil menyenteri wajah-wajah anak cowok yang sedang tepar tertidur. “Terserah loe deh! Pokoknya cepet gue udah nggak tahan beneran nih!” pinta Nanie berusaha menahan rasa sakit dan hasrat pipisnya. Suriyah segera saja ngebangunin sosok yang tidur paling dekat dengan pintu tenda. Dan ternyata dia itu adalah Ecca. “Ecca yah?” tanya Suriyah sekali lagi. “Terserah!!!” Nanie nggak tahan. “Ca, Ecca bangun sebentar donk! Ca, plis ayo bangun dong! Ca...Ecca...!! Ecca ganteng deh kalo mau bangun! Bangun dong! Eh, nih anak kebo apa kuda nil sih?” Suriyah hampir putus asa membangunkan Ecca. Nanie geli melihat tingkah temennya yang aneh seperti itu, “Ah, kelamaan loe, Sur!” Nanie langsung maju mendekati tubuh Ecca yang sedang tertidur. Diguncang-guncangkan tubuhnya beberapa kali, “Woy Ca! Bangun bentar donk!! Cepetan bangun!” baru beberapa kali diguncangkan Ecca langsung bisa membuka matanya. Ia mulai mengumpulkan nyawanya. “Eh, Nanie? Suriyah? Ada apa?” Ecca masih belum sadar betul. “Udah ayo bangun dulu!” Harrinanie sudah merasa benar-benar nggak sabar. “Ca, temenin kita turun donk!” Suriyah menyampaikan maksud mereka. “Turun?” Ecca belum paham apa maksud kedua gadis itu. “Turun ke sungai maksudnya!” jelas Suriyah. “Ayo deh cepetan! Kasihan Nanie dia udah nggak tahan tuh! Nggak usah tanya-tanya dulu nanti gue jelasin di jalan. Ecca mulai bangkit mencari senter dan keluar dari pintu tendanya. Dingin, itu yang ia rasakan untuk pertama kali keluar dari tendanya malam itu, benar-benar dingin. “Eh, ajak satu orang lagi donk! Gue kan nggak mau cuman jadi obat nyamuk di perjalanan nanti...” Suriyah sambil senyum-senyum. Nanie dan Ecca saling berpandangan. Lalu dengan secepat kilat Nanie mengalihkan pandangannya dari Ecca. “Ya udah deh!” Ecca kembali ke dalam tendanya membangunkan si Pendi. Melihat Ecca yang tidak jua berhasil membangunkan Pendi, Nanie dan Suriyah saling perpandangan. “Ayo...” kata mereka hampir bersamaan penuh misterius. Segera saja kedua gadis itu mengambil alih usaha Ecca membangunkan Pendi. Ditariknya badan Pendi yang masih berselimut kain sarung, diseret dan dipaksa meniggalkan tenda hangatnya. Kontan itu membuat Pendi gelagapan. “Eh, apa-apaan nih!” Pendi kaget. Dan langsung dibungkam sama anak-anak. “Ssttt...udah deh loe diem aja! Cepet ikut sama kita” bisik Nanie dengan nada perintah. “Nanie...Suriyah...Ecca?” katanya sambil menunjuk teman-temannya itu satu persatu. “Udah...” kata anak-anak kompak sambil menarik tubuh Pendi. Pendi yang belum sadar benar pasrah diseret-seret sama anak-anak.
***
“Malam Eksekusi??” Fithri kaget tapi suaranya dibuat sepelan mungkin. Di dalam tenda memang tengah terjadi pembicaraan rahasia antara para WPS cewek. Mereka duduk membuat bentuk yang menyerupai lingkaran dengan berbagai cemilan di tengah mereka. “Iya, yang gue denger sih begitu.” Sergah Suriyah sambi mengambil sebutir kelengkeng yang dibawa Arofah kemarin. “Sebenernya apaan sih malam Eksekusi itu? Masa sampai membuat Kak Ratri bertengkar hebat sama Kak Umar. Kalian lihatkan tadi pagi, sikap mereka aneh banget. Nggak saling bicara, berusaha menghidar satu sama lain, gue jadi prihatin sama mereka.” Arofah yang kemudian menawarkan snack pada Nanie. Nanie menerima snack itu “Makasih, Fah!”. Terlihat beberapa anak berpikir. “Menurut gue malam itu adalah malam sakral bagi kita dan mungkin bakalan jadi sakral juga buat generasi selanjutnya nanti. Dan nggak menutup kemungkinan tujuan sebenarnya Reor kita kali ini yah Malam Eksekusi itu.” Pendapat Anita. “Iya, gue kemarin juga denger Kak Ratri nyebutin kalo malam itu adalah malam penentuan buat nentuin yang bener-bener pantes!” jelas Nanie yang disambut tanda tanya oleh rekan-rekannya. “Maksudnya apa?” There angkat bicara mewakili teman-temannya. Nanie meggelengkan kepalanya, dan anak-anak yang lain juga mengikutinya. “Yang jelas kita harus siap buat malam itu! Ada dua malam yang tersisa sekarang. Pasti malam Eksekusi itu bakalan dilaksanain kalo nggak malam ini yah, besok malam!” Nanie serius. “Iya, kita harus siap! Kalau begitu ayo sekarang kita susun rencara kalo memang malam Eksekusi itu bener-bener bakalan dilaksanain!” Nasehat Arofah, dan disambut persetujuan dari anak-anak. “Jadi kita mulai dengan...” kalimat Nanie terputus
“Dek, kalian nggak sarapan?” tanya kak Nissa yang tiba-tiba mendongakan kepalanya ke dalam tenda cewek yang sejak tadi tertutup rapat. Anak-anak jadi kaget. “Lho kalian sedang apa? Kok kaya ada arisan gitu” Nissa heran melihat adik-adiknya seperti itu. “Bia...biasa Cewek! Kita kan lagi curhat-curhatan. Iya, iya kan temen-temen?” jawab Fithri yang sambut pengiyaan dari teman-temannya. “Oh... ya udah acara curhat-curhatannya dilanjutin nanti aja! Sekarang sarapan dulu! Ayo!” ajak Kakak senior yang hitam manis ini. “Eh iya! Cemilannya bawa keluar dong! Kita-kita kan juga mau!” tambah Kak Nissa. “Pasti Kak!” kata Pradipta yang baru saja sembuh dari sakitnya.
Pagi itu dijalani anak-anak WPS dengan berbagai kegiatan sehari-hari. Mulai dari sarapan mie rebus, gantian mandi di sungai, bersih-bersih, foto-foto, dan masih banyak lagi. Tapi disiangnya para Senior ngadain suatu permainan buat adik-adik mereka. Yah sepanjang pagi dan siang itu terjadi keramaian dan kesenangan yang luar biasa. Namun di sisa siang dan sepanjang sore para WPS 08 dibebaskan buat ngapain aja. Sedang para senior yang hanya terlihat menjadi segelintir itu, cuma ada empat orang yaitu Ardian, Arif, Andani, dan Mutiah mengadakan pembicaraan di depan tenda mereka, tanpa ada yang menguping kali ini.
Kesempatan itu digunakan para WPS cewek untuk melanjutkan rencana mereka tadi, cuma ada dua cowok yang ikut andil dalam recana mereka, Ecca dan Abdur. Sedang cowok yang lain menghabiskan waktu senggang itu dengan tidur siang, baca komik atau sekedar beres-beres.
***
Sunyi, itu yang terasa begitu dekat dengan anak-anak WPS malam itu. Hanya terdengar beberapa orang bicara tapi tidak bergitu jelas, hanya bisik-bisikan yang menggema di sekitar mereka. “Gue, deg degan, Nan!” Kata Suriyah pada Nanie yang sedang membereskan ranselnya. “Gue, juga!” Nanie memegang tangan Suriyah. “Ternyata kita sama!” Arofah menimpali. Semua WPS cewek 08 terlihat tegang. “Ya udah sini, kita duduk merapat!” ajak Nanie pada teman-teman seangkatannya. Dan semua menurut. “Kita berdo’a saja bareng-bareng semoga malam ini yah kalau memang bener-bener akan ada Malam Eksekusi, semuanya berjalan dengan baik-baik saja dan tidak akan ada hal buruk yang terjadi malam ini!” Harrianie kemudian memimpin teman-temannya berdo’a.
Andani yang baru muncul dari tenda senior berjalan menuju tenda cewek, bersama Yufar dan Zaenal yang berjalan menuju tenda WPS 08 cowok. Andani mendongakan kepalanya ke dalam tenda adik-adiknya, Andani mendapati juniornya itu sedang berdo’a. Ia menunggu mereka selesai berdo’a. Angkatan 08 yang tidak sadar kedatangan kakaknya itu menjadi sedikit terkejut. “Kak A..” Perkataan Nanie terputus. “Udah Dek, keluar dulu!” kata Andani tenang. Para cewek-cewek itu pun keluar dari tenda mereka dengan Andani mendahului mereka. Begitu juga para cowok angkatan 08, mereka juga keluar tenda dengan Yufar dan Zaenal di depan mereka. Mereka dikumpulkan di sekeliling api unggun yang berada di tanah antara tenda cewek dan tenda cowok yang sudah di alasi tikar. “Duduk, Dek!” komando Zaenal pada juniornya. “Loe udah tau soal malam Eksekusi ya Nan!” bisik Andani pada Harrinanie. Nanie jadi kaget, gelagapan nggak tau mesti ngomong apa. “Ya, udah kalo gitu!” Andani seakan tahu jawaban yang akan ia dapatkan.
“Yah, adik-adikku semua!” Zaenal mulai berbicara ditengah para kerumunan adik-adiknya. “Kalian duduklah dulu!” Ajak Zaenal, dia pun juga mulai menyilakan kakinya. “Yah, mungkin kalian belum mengetahui sama sekali atau sudah mendengar-dengar tentang hal ini, ini tentang malam Eksekusi!” Terang Zaenal. Jantung Nanie dan beberapa orang yang telah mengetahui tentang malam Eksekusi sebelumnya menjadi sedikit tegang dan berdebar kencang. Angin malam itu mengisi suara di sana beberapa saat sebelum Zaenal berbicara kembali. Bertiup pelan tapi penuh misteri, seakan mereka tau hal apa yang akan terjadi di tengah-tengah anak WPS ini. “Yah, malam Eksekusi akan dilaksanakan malam ini!” lanjut Zaenal dan disambut bisik-bisikan oleh beberapa adik kelasnya. “Kalian jangan tanya apa itu malam Eksekusi, karena kalian akan mengetahui sendiri nantinya! Sebentar lagi tepatnya. Dan ku harap kalian tidak merasa takut ataupun gugup, tenangkan dan siapkan mental kalian.” Pesan Zaenal pada adik adiknya. “Baiklah sekarang berdirilah dan saling mendekatalah kalian!” Perintah Zaenal, dan semua melakukan instruksi dari seniornya itu. “Kemarikan tangan kalian!” lanjutnya. Semua anak WPS kelas satu juga di tambah beberapa anak kelas dua menjulurkan tangannnya mengambil posisi untuk tos. Tangan mereka telah menjadi satu sekarang. Ada kehangatan sendiri di antara mereka. Zaenal mulai memekikkan yel WPS,” SIAPA KITA...” teriaknya. “PASKIBRA!!” anak-anak bersamaan. Suara mereka menggema di tengah kesunyian malam itu. “SIAPA KITA...” Pekik Zaenal untuk kedua kalinya. “PASKIBRA!!” para WPS kompak, jantung mereka semua menjadi semakin berdebar. “SIAPA KITA...” Zaenal mengerahkan seluruh tenaganya untuk teriakan terakhirnya. “PASKIBRA!!” anak-anak penuh semangat. Dan teriakan terahir mereka pekikan bersama-sama, “WIRA PAKSI SAKTI JAYA!” teriak mereka kompak sampai suara mereka seperti menggema ke seluruh pelosok hutan.
Setelah tos yang penuh semangat itu berakhir, suasana di sekitar sana menjadi senyap kembali. “Sekarang ambil senter korek api kalian, kemudian ikuti senior yang ada di sana.” Perintah Sang Komandan 07, seraya menunjuk ke arah beberapa orang yang tenggelam di kegelapan, dan kalau saja senter mereka tidak menyala dan berputar-putar di sekitar mereka pasti anak-anak tak akan mampu menemukan sosok yang dimaksud seniornya itu. Nanie dan para WPS cewek kembali ke dalam tenda. Mereka mencari senter korek api mereka dan juga membawa beberapa ransel yang telah ia siapkan sebelumnya.
Melihat WPS cewek 08 itu keluar dengan menenteng ransel, Zaenal menyuarakan hatinya, “Dik nggak usah bawa tas!” perintah Zaenal pelan tapi tegas. Nanie dan teman-temannya saling bertatapan. Dengan sedikit kecewa ia dan Arofah kembali ke tenda dan mengembalikan tas ranselnya. “Sebenernya, kita mau diapain sih?” Arofah sedikit kesal. “Udahlah! Kata Kak Zaenal tadi, nanti kita pasti tau sendiri kita bakalan diapain.” Nanie mengingat yang dikatakan Zaenal tadi.

***
Angkatan 08 sudah membentuk barisan menghadap jalan yang atasnya berdiri dua orang Kakak senior bersama senter mereka. “Heh, Nanie sama Arofah mana?” tanya Pradipta pada There yang tidak melihat batang hidung dua anak itu. “Masih di tenda kaya’nya.” Tebak There. Dari arah tenda cewek tampak Harrinanie dan Arofah berlari-lari kecil menuju ke barisan teman-temannya. “Kalian ngapain aja? lama banget sih?” tanya Pradipta. “Udah deh, nanti gue ceritain!” Arofah sembari mengatur kembali nafasnya.
Dua orang senior membimbing mereka untuk segera memulai perjalanan. Semua senter korek api milik anak-anak 08 diperkenankan untuk disimpan dalam saku masing-masing. Gelap, sungguh gelap gulita yang menaungi mereka. Hanya langitlah yang terlihat paling terang dan juga cahaya dua senter dari para pembimbing mereka. Mereka semua bergandengan tangan, setiap satu orang anak perempuan ditempatkan di antara anak dua atau lebih anak lelaki dan begitulah selanjutnya sehingga membetuk suatu barisan panjang. Jadi dengan begitu mereka tidak akan mendapati diri mereka kehilangan teman-teman mereka, selama mereka tidak saling melepaskan gandengan. Langkah pertama mereka mulai, kedua, ketiga dan seterusnya. Ada suatu perasaan yang melebihi apa pun saat mereka bergandengan dalam kegelapan. Memberikan seluruh kepercayaan mereka pada teman-teman mereka, karena memang tak ada yang bisa mereka lihat sekarang hanya dua cahaya senter yang terlihat sangat kecil bila kau berada di barisan menengah ke belakang. “Sial mataku sakit sekali!” keluh seseorang di kegelapan. “Pejamkan saja kalau begitu!” Tanggap seseorang yang tidak tahu siapa.
Setelah mereka berjalan kurang lebih dua kilo meter, mereka diberhentikan. Senter yang ada di paling depan juga berhenti. Terdengar suara yang cukup keras dari arah depan. Dan semuanya bisa menebak dengan yakin kalau itu adalah suara dari Zaenal. “Sekarang hitung berantai! Berteriaklah sekeras kalian bisa!” perintah sang senior. “Hitung! mulai!!” teriaknya. “Satu!” teriak seseorang yang berada paling depan, yang tak lain adalah Wibbi. “Dua!” sahut orang yang berada di belakang Wibbi. Dan begitulah terus berlanjut.
“Tiga puluh...Tiga puluh satu...” hanya suara hitungan itulah yang mewarnai pendengaran mereka saat itu. “Tiga puluh dua...Tiga puluh tiga...” suara-suara itu terus berlanjut. Dan sampai Nanie merasa tiba gilirannya untuk menyebut urutannya,” tiga puluh empat...” teriaknya sekuat tenaga. Dan berlanjut terus ke belakang Nanie, “Tiga puluh lima...” teriaknya. Nanie tercekat, jantungnya berdebar keras. Ia ingat akan suatu hal. “Tiga puluh lima?” katanya pelan. Jantungya semakin berdetup kencang kali ini ditambah keringat dingin yang mulai menetes dari peluhnya. “Tiga puluh lima?” kata suara di belakang Nanie, seakan ia juga merasa sama kagetnya dengan Nanie. “Hey, kau siapa?” tanya Nanie akhirnya mencoba membuat diriya setenang mungkin. “Aku Ecca!” sambut suara di belakangnya. “Ecca?” Nanie belum yakin. “Iya aku Ecca!” tambah suara itu. Seseorang yang mengaku Ecca itu merogoh kantongnya mengambil senter korek apinya, lalu menyorotkan benda itu ke wajahnya. “Iya Ecca.” Bisik Nanie pada dirinya sendiri. Dengan cepat kemudian ia mengambil senter korek apinya dari jampernya. Dinyalakannya senter itu, kemudian dimatikan lagi, dan terus ia melakukan hal itu sampai beberapa kali.
Dari depan terdengar teriakan, “Berapa?” tanya Zaenal. Tidak ada jawaban. “Hey, yang di belakang berapa?” ulang sebuah suara dari dalam barisan. “Morse!” kata Yufar yang telah menagkap kode-kode yang diberikan Nanie. “Apa?” Zaenal belum paham. “Nanie mengirim morse!” jelas Yufar. “Nanie?” Zaenal tambah tidak mengerti. “Lihat, cahaya itu! Nanie mengirimkan pesan pada kita! Pasti terjadi sesuatu!” terang Yufar. “Apa isi pesannya?” tanya Zaenal. “Sebentar aku coba membaca kode itu .” Yufar serius. Para WPS 08 tidak terlalu memperhatikan komunikasi antara Nanie dan Yufar. Sebagian besar dari mereka memilih untuk memejamkan mata karena mata mereka sudah tidak tahan melihat dalam kegelapan yang benar-benar gelap itu. Ada juga yang saling berbisik-bisik satu sama lain mencoba mencari tahu yang terjadi. Hanya Wibbi dan beberapa orang yang ada di depan yang dapat mengetahui situasi yang tengah terjadi di sana, tapi mereka belum paham benar yang terjadi antara Nanie dan Yufar. Kegelapan sungguh membutakan mereka.
“Suruh anak-anak hitung ulang lagi, Nal!” perintah Yufar. Zaenal menurut saja, “Hitung ulang!” teriak Zaenal. “Berhitung! Mulai!” lanjutnya. Dan penghitungan dimulai. Dari satu dan terus berlanjut. “Ada apa, Nal, Far?” tanya Deady yang sudah tidak sabar menunggu adik-adiknya. “Dead, coba loe masuk barisan! Periksa anak-anak” komando Yufar tanpa menjawab pertanyaan Deady. Deady yang paham situasi tidak menanyakan alasan mengapa ia harus memeriksa barisan. Satu tahun bersama Yufar dan lainnya membuat mereka saling memahami satu sama lain, “Pasti nanti ada penjelasan untuk ini.” Kata Deady dalam hati. “Eh, Dead ajak Ayeb juga!” tambah Yufar. Deady menurut. “Ehmm... terutama Nanie. Tanyakan kondisinya!” Tambah Yufar lagi. Kali ini Deady benar-benar tidak paham, ia menunjukan tatapan penuh tanda tanya pada Yufar. “E...aku hanya tidak mau asmanya kambuh. ”Yufar memberi alasan. Ia merasa belum saatnya Deady mengetahui yang sebenarnya. Deady segera pergi menuju barisan bersama Ayeb.
Hitungan anak-anak sudah memasuki angka tigapuluhan. “Tiga puluh empat...” Teriak Harrinanie. Nanie dan Ecca saling berhadapan, walau mereka tidak dapat melihat wajah masing-masing namun mereka satu sama lain yakin kalau mereka saling berhadapan. Nanie mengambil senternya lagi, dan memulai komunikasinya dengan Yufar untuk kedua kali. “Tiga puluh empat! Lengkap!” teriak Harrinanie. Disambut dengan tatapan Ecca penuh tanda tanya yang terlihat dari senter korek api yang ia bawa. “Aku hanya tidak ingin membuat mereka khawatir!” bisik Harrinanie. “Khawatir kenapa?” tanya suara di depan Nanie. “Eh, enggak! Nggak kenapa napa kok!” Nanie sambil terus mengirimkan morsenya dengan sebelah tangannya yang dibuat bergandengan dengan Ecca tadi. Sedang tangan yang lain masih bergandengan dengan seseorang yang ada di depannya. “Eh, loe siapa?” tanya Nanie pada seseorang yang di depannya. “Gue Anton.” Jawab anak itu tanpa menoleh, matanya terpejam karena tidak tahan melihat di kegelapan. “Gue Nanie.” Terang Nanie tanpa diminta. Sedang Ecca mencoba setenang mungkin agar Anton atau siapa pun tidak menyadari kalau di belakang Nanie masih ada orang lagi. “Eh, Ton! Coba tanya siapa di depan loe! Dan orang yang di depan loe suruh tanya siapa yang ada di depannya lagi, dan terus suruh tanya lagi sampai barisan paling depan! Gue cuma pengen kita tahu siapa-siapa aja yang ada di dekat kita. Yah, supaya kalo ada apa-apa kita tahu posisi masing-masing! Ayo cepet mulai!” Harrinanie memberi saran. Anton pun melakukan yang disarankan Nanie, tanpa pikir panjang ia mulai menanyai seseorang yang ada di depannya. Dan bisik-bisikan itu terus berlanjut, dan kurang lebih itu membuat mereka lebih tenang karena mengetahui siapa-siapa yang ada di dekatnya.
“Kak Deady mau ke sini! Dia sedang memeriksa barisan sekarang!” bisik Nanie pada Ecca kali ini suaranya dibuat sepelan mungkin karena tidak ingin membuat Anton mau pun orang lain tahu yang sebenarnya.
“Nal, lama banget sih? Kita udah nggak tahan ni nungguinnya!” Dyah muncul dari kegelapan. “Iya, ini juga mau jalan!” Zaenal mencoba meyakinkan Dyah. “Loe balik sana suruh pada siap-siap!” tambah Yufar. Dan Kak Dyah pun hilang dalam kegelapan. Zaenal menyuruh adik-adiknya jalan lagi.
“Heh loe siapa? Gue Fithri.” Tanya Fithri pada seseorang di depannya, melakukan yang diinstruksikan seseorang di belakangnya, Jatmiko. Seseorang di depannya masih diam saja. “Eh, gue bilang loe siapa?” Fithri sudah mulai tidak sabar. “Gue Wibbi!” aku seseorang di depan Fithri, singkat dan pelan, hampir tidak terdengar. “Oh, loe Wib! Ya, Udah! Eh, tanya siapa yang ada di depan loe, dan yang di depan loe suruh tanya yang ada di depannya lagi! Dan terus gitu sampe yang paling depan! Udah gih cepetan!” Fithri melanjutkan instruksi yang ia terima dari Jatmiko tadi.
“Udah mulai Jalan Ca.” Nanie memberitahu Ecca. Ecca mengerti, tapi tetap membiarkan dirinya tenang di kegelapan. Barisan itu pun mulai bergerak kembali. Satu sama lain berjalan dengan penuh hati-hati, mereka tidak ingin terjadi sesuatu pada dirinya dan juga teman-temannya. Jadi selain membuat diri mereka seaman mungkin mereka juga membuat yang ada di belakang mereka merasa aman. Yang intinya di sini mereka diajarkan untuk saling percaya dan saling melindungi.
“Nan, Nanie!” seseorang dari arah depan memanggil nama Harrinanie. Terlihat dua senter mulai mendekat. “itu pasti Kak Deady!” bisik Nanie pada dirinya sendiri tapi terdengar pula oleh Ecca. Deady menyoroti wajah anak-anak satu persatu. Dan akhirnya ia temukan Nanie. “Hey, Nan!” Kak Deady menyapa Harrinanie. “Kak!” balas Nanie tersenyum sambil terus berjalan pelan mengikuti yang di depannya. “Loe, nggak apa-apakan? E...asma loe nggak kumat kan?” Tanya Deady. “Enggak kok, Kak! Aku baik-baik aja!” Jelas Nanie. “O...” Deady singkat. Kemudian Deady dan Ayeb membalikan tubuhnya dan mulai melangkah untuk kembali ke Zaenal. “Tunggu, Kak!” Nanie akhirnya. “Ada apa lagi, Nan?” Deady seraya membalikan tubuhnya. “Kak ada yang mau aku ceritain!” Nanie berniat mengatakan yang sebenarnya. Nanie mulai membisik-bisikan sesuatu pada kakak seniornya, tapi tetap terus sambil membuat badannya bergerak. Setelah beberapa saat menerima bisik-bisik dari Nanie Deady pun tercekat, begitu pula dengan Ayeb yang sejak tadi juga ikut mendengarkan cerita Nanie. Deady kemudian menyorotkan senternya kearah belakang Nanie. “Ecca?” Deady tetap terkejut meski sebelumnya telah diberitahu Nanie dalam bisikannya tadi. “Hey, Kak!” Ecca tetap dibuat sepelan mungkin. Deady membatin,” benar yang dikatakan Nanie. Seharusnya ada tiga puluh empat orang di barisan ini. Tapi kenapa masih ada Ecca di belakang Nanie? Lalu mungkinkah ada peyusup atau orang lain dalam bariasan selain anak-anak 08? Apa jangan-jangan...” Deady menjadi sedikit merinding, ia menelan ludah, sekarang ia merasakan tubuhnya bergetar. “Kak!” panggil Nanie yang melihat kakaknya itu hanya diam saja. “Jadi... kamu bilang Tiga Puluh Empat lengkap itu...?” Deady tidak melanjutkan bicaranya. “Iya, Kak! Aku nggak mau semua jadi khawatir.” Nanie memberi alasan. “Iya, Nan bener kata loe. Seharusnya ada tiga puluh empat orang disini. Dan memang seharusnya angka terahir itu untuk cowok, bukan kamu atau cewek yang lain. Susunan barisan inikan cewek harus berada di antara cowok. Jadi mustahil kalo angka terahir didapet cewek!” tambah Deady. Mereka diam sejenak, “Yeb, loe tetep tinggal di sini ya! Gue mau periksa barisan lagi!” Deady mulai melangkah meniggalkan mereka. “Dead! Loe nggak apa-apakan?” tanya Ayeb sedikit mengkhawatirkan temannya itu. Deady mengangguk pelan dan mulai berjalan ke depan menyusuri barisan dan kemudian menghilang.
Barisan para WPS itu terus berjalan menyusuri sepanjang jalan yang haru mereka lalui. Dari arah depan tampak suatu cahaya yang muncul tapi belum terlalu tampak dari mana asalnya. Semakin barisan itu mendekat semakin tampak saja cahaya itu menyembul diantara kekelaman. “Wow!!” kagum beberapa anak yang di depan yang telah melihat apa sebenarnya yang ada di balik cahaya-cahaya itu.
***
Di sana, di kanan dan kiri jalan terlihat para kakak-kakak senior 07 berdiri, sambil membawa sebuah lilin di tangan mereka. Lalu sayup-sayup terdengar lagu Indonesia Raya dinyanyikan oleh para senior. Para angkatan 08 sangat takjub sekali melihat pemandangan itu. Wajah kakak-kakak mereka terlihat berseri diterangi cahaya lilin. Senyum mereka pun merekah diantara nyanyian mereka, yang menggema merdu di tengah-tengah suasana malam itu. Lilin-lilin itu pun menerangi jalan para yang dilalui para WPS 08, menggiring mereka menuju ke suatu tempat. Perasaan haru dan tenang menyelinap diantara sanubari mereka, sungguh sangat indah begitulah yang ada di pikiran mereka. Daun pohon-pohon yang menaungi mereka tertiup angin malam, membuat suatu irama tersendiri yang mengiringi alunan yang dinyanyikan para angkatan 07. Nanie juga merasakan hal yang sama dengan teman-teman mereka, ditengoknya Ecca yang ada di belakangnya. Wajah Ecca terlihat berseri diterangi lilin-lilin sepanjang jalan itu. Ecca tersenyum, juga dibalas senyuman oleh Harrinanie. Semua pikiran yang menyelimuti mereka sebelumnya hilang sesaat dari benak mereka, tinggal pikiran indah yang ada. Nanie melihat ke depan terlihat Kak Ratri yang sedang tersenyum ke arah Nanie dan Ecca, wajahnya terlihat berbeda sekali dengan kemarin malam. Seperti yang dirasakan Nanie dan Ecca semua bebannya seakan terbang sudah melayang jauh dan tidak akan kembali lagi.
Fithri memperhatikan seseorang di depannya. Kali ini sosoknya terlihat jelas diterangi lilin-lilin para senior. Tidak terlihat seperti Wibbi, pikirnya. “Wib, Wibbi!” panggil Fithri. Orang itu tidak menoleh. “Wibbi!” Fithri sekali lagi tapi kali ini ia juga sedikit menarik tangan seseorang yang ada di depannya itu. “Aduh, ada apa sih?” kata seseorang yang ada di depan Fithri. “Fithri?” tambah seseorang itu, tapi kali ini sedikit menoleh. Fithri kaget, “Hananto?” Suriyah masih tidak percaya. “Tapi kan yang ada di depan gue tadi Wibbi. Kenapa sekarang jadi loe!” Fithri merasa sedikit aneh. “Dari tadi gue di sini kok! Tuh, Wibbi di depan!” Hananto sambil menunjuk Wibbi yang juga terlihat berada di paling depan. Fithri memperhatikan orang itu yang ternyata memang Wibbi. Sekarang ia sedikit merasa cemas, wajahnya memucat seketika. Hananto menyadari hal itu “Kenapa loe Fith?” Tanya Hananto. Fithri masih sibuk dengan pemikiran-pemikiran anehnya. “E...tadi ada yang nanya loe siapa nggak, waktu pas gelap-gelapan tadi?” Fithri mencoba mencari keterangan. “Kaya’nya nggak ada tuh, Fith!” jelas Hananto. Jantung Fithri mulai berdetup kencang pikiran-pikiran menakutkan mulai menghantuinya. “Apa jangan-jangan yang di depan gue tadi...?” Fithri berbicara pada dirinya, ia sungguh gemetar sekarang, badannya juga mulai terasa lemas. Namun secepat mungkin ia berusaha menguasai dirinya. “Nggak gue nggak boleh berpikiran kaya’ gitu! Gue harus berpikir positif, yah, berikir positif...! Ayo teruskan berpikir hal-hal positif! ayo pikirkan...pikirkan...pikirkan hal positif!” Fithri memberi sugesti pada diriya sendiri. Dan setelah beberapa saat, Fithri mulai bisa membuat dirinya tidak memikirkan hal-hal yang buruk dan menakutkan.
Anak-anak sudah memasuki sebuah tanah lapang dengan api unggun besar di tengah-tengahnya. Terlihat pula beberapa senior kelas tiga yang berada di sekitar api unggun itu. Deady telah kembali dari barisan adik-adiknya, kini ia tangah bergabung dengan Zaenal dan Yufar. “Gue udah tau Far!” bisik Deady pada Yufar, “Nanie yang kasih tau gue.” Lanjutnya. “Dia udah nggak apa-apa kok Far!” tambah Deady. “O...syukur deh!” Yufar singkat.
Setelah semuanya telah benar-benar memasuki kawasan itu, Zaenal menyiapkan para angkatan 08. Terlihat pula para 07 memasuki kawasan dengan lilin-lilin yang telah padam di tangan mereka, juga Ayeb yang telah bergabung dengan mereka, memberikan senyuman ke arah Deady dan Yufar, sembari berjalan bersama rekan-rekannya.
Setelah disiapkan mereka dipersilahkan duduk membentuk lingkaran besar mengelilingi api unggun. Sekarang bukan Zaenal yang akan berbicara, namun Parikesit Komandan PPI Solo dimasa baktinya. Parikesit berdiri tepat di depan adik-adik mereka, ia mulai berbicara. “Selamat malam adik-adikku semua!” sapanya tenang disambut sapaan pula dari adik-adiknya. “Seperti yang kalian ketahui kita datang ke sini tanpa adanya izin dari pihak sekolah! Dan aku juga nggak pegen kita masuk ke Bumi perkemahan ini tanpa ada izin dari pihak si empunya tempat ini... apa sampai disini kalian mengerti apa yang aku bicarakan?” Tanya Parikesit melihat adik-adiknya sedikit berwajah kebingungan. Para angkatan 08 tetap diam. ”Pada intinya kalian dikumpulkan disini adalah untuk meminta izin dari, dari Si...bagaimana ya...aku menyebutnya? Baiklah Si Tuan Rumah, yah Si Tuan Rumah dari tempat ini!” Parikesit berhenti sejenak, “Kita di sini sebagai tamu. Tentu kalian mengerti tentang hal ini. Dan demi kelancaran pelaksanaan berbagai kegiatan kita nanti, kita akan meminta izin dari pihak si empunya tempat ini! Masalah diterima atau tidaknya izin kita adalah masalah belakangan. Yang penting kita sudah minta izin, atau istilahnya ‘kulo nuwun’ lah untuk menghormati mereka-mereka itu.” Lanjutnya. “Dan kalian tidak usah takut atau parno! Ini bukan salah satu bagian dari film horror. Ini hanyalah semacam ritual yang setiap kita ke sini pasti kita akan adakan ritual semacam ini.” Parikesit mencoba membuat adik-adiknya merasa nyaman. ”kalian tetap tenang saja, tetap duduk di tempat kalian masing-masing dan ikuti ritual ini dengan sebaik mungkin!” pesan Parikesit, yang kemudian melihat ke arah kelas dua memberi isyarat untuk segera memulai prosesi yang akan segera mereka lakukan.
Suhar, Deady, dan Wahid maju ke depan mengambil alih posisi Parikesit berdiri tadi. Sedang Parikesit beranjak menuju ke arah rekan-rekannya. Di tangan Suhar terlihat suatu benda yang terbungkus kain merah. Setelah itu ia keluarkan benda itu yang ternyata adalah sebilah golok. “Tolong tidak ada yang bicara sekarang!” Deady tenang. Suhar mulai berkomat-kamit mengatakan sesuatu namun tidak begitu jelas. Matanya terpejam dengan sebuah golok yang ia pegang dengan kedua tangannya. Deady dan Wahid juga terlihat serius, mata mereka juga terpejam dengan kepala yang sedikit tertunduk, mereka berdiri di belakang Suhar menunggu yang akan dilakukannya selanjutnya. Suhar terus mengucapkan semacam mantra-mantra. Kemudian dengan teriakan keras ia tancapkan golok itu tepat di tanah yang ada di depannya. Tangannya masih memegangi golok itu. Dengan seketika golok itu bergetar, semakin lama getarannya semakin keras. Suhar hampir kewalahan. Kedua temannya yang tadi berdiri di belangkanya, maju ikut memegangi golok itu. “Cepat ambil tali...” kata Suhar dengan wajah kepayahan. Deady segera beranjak, ia menatapi adik-adiknya yang sejak tadi diam tak mampu berbuat apa-apa, begitu pula dengan senior kelas dua lainnya maupun kelas tiga, mereka semua terlihat tegang. Dengan nafas tersegal-sengal ia berkata, “Tetap tenang!” katanya. “Ada yang bawa tali?” Lanjutya. “Cepat kami butuh tali sekarang!” Deady mengamati wajah adik-adiknya juga rekan-rekannya. Nanie yang duduk paling belakang teringat suatu hal. “Fah!” panggilnya pada Arofah. Arofah langsung paham. Dirogoh-rogohnya semua sakunya. “Kak!” Arofah seraya menunjukan sebuah tali temali kepada Kak Deady. Semua memperhatikan Arofah penuh tanda tanya juga tapi disertai rasa kelegaan. Melihat tali Deady langsung, mengambilnya dari tangan Arofah dan kembali menuju ke kedua temannya tadi.
Suhar menerima tali tadi dari tangan Deady, diikatkan tali itu pada golok yang telah ia tancapkan tadi, sedang goloknya sendiri sedang dipegangi oleh Wahid dan Deady. Diikatnya dengan sekuat mungkin. Kemudian ia sisakan dua utas tali di kanan dan kiri golok. Suhar menginstrusikan kedua temannya untuk menarik kedua ujung utasan tali itu. Telapak tangannya kemudian menekan golok itu dari atas. Golok itu masih tetap bergetar. Deady yang memegangi ujung kanan tali terlihat sangat kepayahan. Tubuhnya yang mungil terlihat bergetar. “Kak...udah nggak kuat!” rintihnya dengan suara yang kelelahan. Suhar segera menyuruh anak-anak membaca Al-Fatihah atau surat apa saja bagi yang beragama Islam dan untuk yang Noni (Non Islam) ia suruh memebaca doa-doa apa saja yang mereka bisa. Semua mulai melantunkan ayat-ayat doa dengan penuh kesungguhan. Sebagian dari mereka melihat kepayahan ketiga kakak-kakak mereka di depan, mereka merasa kasihan sekaligus takut.
“Udah bener-bener nggak kuat, Kak!” Deady semakin terlihat kewalahan. Di sisi lain Wahid juga terlihat kepayahan namun ia tetap berusaha. “Tahan Kak!” Suhar memberi instruksi. “Cepat maju dua orang, menggantikan Kak Deady dan Kak Wahid! Cepat! Seseorang yang benar-benar kuat imannya! Ayo cepat!” Suhar dengan bernada perintah. Tidak ada yang berani beranjak dari tempatnya menggantikan Deady dan Wahid. “Cepat!” Suhar sekali lagi masih dengan menekan golok itu agar terus tertancap di tempatnya sekarang. Sesaat kemudian Nanie berdiri bersamaan pula dengan Wibbi yang duduk paling depan. Segera saja mereka berlari menghampiri kedua kakak mereka. Nanie menuju Deady, dibantunya kakak seniornya itu. Sekarang ia merasakan getaran dari tali itu. Kuat sekali. Di sisi lain Wahid juga dibantu oleh Wibbi. “Dead!” Suhar berkata berada perintah. Deady mengerti langsung melepaskan tarikannya dari tali. Sekarang di bagian kanan tali tinggalah Nanie sendiri yang menahan tali itu. Wahid juga menyusul Deady melepaskan tangannya dari tali. Kini Nanie dan Wibbi benar-benar telah mengambil posisi kedua kakak-kakaknya tadi secara penuh. Mereka terus memegangi ke dua ujung tali itu. “Tenang!” Suhar pelan. “Tenang!” katanya sekali lagi, kali ini pelan-pelan ia mengangkat telapak tangannya dari goloknya tadi. Getaran dari golok itu berkurang. Nanie dan Wibbi merasakannya. “Gigit! Gigit kedua ujung tali itu!” perintah Suhar kepada kedua adiknya, dengan nafas masih tersegal-sengal. Nanie dan Wibbi saling berpandangan. Lalu Nanie segera melakukan yang diperintahkan kakaknya itu, diikuti Wibbi. Kedua gigi mereka telah mengigit tali temali itu. “Angkat!” Lanjut Suhar. “Angkat pelan-pelan!” Suhar berdiri tepat di depan golok yang sejak tadi tertancap itu, dengan Deady dan Wahid di sisinya. Nanie dan Wibbi mengerti. Sedikit-sedikit mereka memundurkan tubuh mereka, melangkah ke belakang, sehingga tali itu menjadi tegang dan golok itu mulai bergerak dari tepatnya, terangkat oleh tali temali itu. Kali ini Wibbi dan Nanie tidak merasakan getaran apa pun, hanya jantung mereka yang berdebar dengan cucuran keringat dingin di peluh mereka. Dengan mencoba setenang mungkin mereka mengangkat golok itu, pelan dan pelan. Hingga sekarang golok itu benar-benar tegak lurus dengan tubuh mereka.
“Jeprreettt!!” terdengar seperti suara seseorang memotret. Nanie kaget, begitu pula Wibbi dan yang lainnya. Dilihatnya Kak Nissa berdiri di belakang para angkatan 08 membawa sebuah kamera di tangannya dengan beberapa angkatan 07 di sebelahnya. Mereka terlihat tersenyum senyum geli. “Dan inilah Kucing dan Anjing sedang berebut golok!” teriak Kak Deady sambil terkekeh. Nanie dan Wibbi saling berpandangan. Belum sempat berbuat apa-apa, Kak Nissa menjepretkan kameranya lagi ke arah Wibbi dan Nanie kali ini dengan Kak Suhar, Kak Wahid, dan Kak Deady yang berpose aneh plus gila diantara mereka. Kelas dua tambah tertawa geli. Beberapa angkatan 08 yang telah menyadari yang terjadi juga ikut tersenyum. Setelah menyadari mereka hanya dikerjai wajah Nanie menjadi memerah, marah sekaligus malu. “Kak Deady!” Nanie kesal melihat kakaknya itu terpingkal-pingkal. “Kak Suhar! Nggak lucu tau...! Ih, ngeselin banget sih!” teriak Nanie yang tenggelam dalam suara tawa seniornya dan rekan-rekan seangkatannya. Nanie segera beranjak menuju ke arah teman-teman ceweknya. Wajahnya semakin memerah. “Hauk...auk...auk...au...!” Kak Yufar menggoda Nanie, berjalan menuju ke depan adik-adik mereka. “Miaw...miaw...!” tambah Zaenal yang berjalan di belakang Yufar. Wibbi terlihat telah bergabung kembali dengan rekan-rekannya. Pasukan 08 pengerek bendera ini, juga ikut tertawa, berbeda dengan Harrinanie yang hanya duduk diam dengan wajah masih kesal.
***
“Sudah-sudah!” Zaenal berusaha menenangkan adik-adiknya kembali. Anak-anak mencoba diam, meski masih dengan menahan tawa. Parikesit yang sejak tadi duduk agak jauh dari adik-adiknya tiba-tiba mendekat. “Eh, loe apa-apaan sih, Nal!” Parikesit sembari mencengkeram lengan Zaenal. “Maksudnya apa?” Zaenal belum paham yang dimaksudkan oleh senior satu angkatan di atasnya itu. “Eh, loe ngajarin apa sama adek-adek loe?” Parikesit dengan sedikit geram. Anak-anak berubah seketika, dari mereka yang tertawa lepas sekarang menjadi serius memperhatikan kedua kakak seniornya yang beda angkatan itu. “Kenapa loe ngajarin yang nggak bener? Loe pikir ritual semacam ini main-main hah?” Parikesit bernada kesal. Zaenal terus diam. Semuanya terlihat tenang tidak ada yang berbicara sepatah kata pun. “Kita ini di hutan, Nal! Di hutan! Ini tuh bukan tempat kita! Kita nggak berhak tertawa, bersenang-senang di sini! Ini semua sudah di luar perencanaan!” lanjut Sang Komandan PII Solo. “Tapi kami cuman pengen...” Zaenal segera terputus, “Pengen apa? Pengen ngancurin adek-adek loe? Angkatan loe! Dan yang paling penting loe mau ngancurin WPS! Nggak pernah yah WPS tuh ada kejadian kaya’ gini! Malu-maluin tau! Seharusnya kalo memang mau ngerencanain kaya’ gini tuh, loe dan semua temen-temen loe harus bicarain dulu sama kami angkatan yang ada di atas kalian! Bukan bertindak semaunya sendiri! Kalian tuh, sudah lancang!” Parikesit kali ini dengan mendorong tubuh Zaenal sampai terjungkal dan tersungkur ke tanah. “Apa-apaan sih loe, Mas?” Yufar tidak terima komandannya dibegitukan. “Apa, Far? Nggak terima? Seharusnya gue dan 06 yang nggak terima di sini. Udah capek-capek ikut kemari, tapi apa? Sampai di sini cuman jadi kambing congek!” Parikesit tambah memanas. “Mas, loe nggak berhak memperlakukan komandan gue kaya’ gini!” Roofi maju ke depan membela Sang Komandan. “Dan loe juga nggak berhak melarang gue untuk berlaku kasar sama adek-adek gue yang udah nggak menghargai kakak-kakaknya lagi!” Parikesit menimpali. Telinga Roofi memanas, seketika itu dihujamkannya pukulan ke pipi kiri Parikesit. Parikesit geram, membalas pukulan Roofi. Umar sebagai yang paling dituakan di sana ikut maju ke depan berusaha melerai adik dan teman seangkatannya itu. Berniat memisahkan keduanya Umar malah jatuh tersungkur terkena dorongan Roofi. Umar juga ikut memanas, “Hey, apa-apaan sih loe!” katanya, bangun dan kemudian berbalik meninju Roofi. Zaenal juga bangun dan ikut terbawa dalam kekalutan itu. Ditambah beberapa juga dari angkatan 07 yang ikut membela angkatannya masuk, ikut terjun dalam perkelahian. Pukulan dan saling dorong pun mewarnai kerumunan anak-anak muda itu. Kata-kata kasar pun spontan keluar dari bibir mereka.
Angkatan 08 hanya bisa diam, tidak ingin menambah masalah jadi semakin rumit, hanya meratapi kakak-kakak mereka yang baku hantam tak terkendalikan tepat di depan mata mereka. Beberapa WPS perempuan berteriak histeris meminta perkelahian itu dihentikan, namun tidak diperdulikan oleh para anak muda yang sedang tenggelam dalam amarah itu. Setelah beberapa menit mereka terlihat kelelahan. Mereka menghentikan Baku hantam mereka. Parikesit terlihat lebam, dan dengan berdarah di bagian bibirnya. Zaenal terlihat tersungkur ke tanah kepayahan. Tangisan pun mewarnai tempat itu seketika. Beberapa WPS 08 dan 07 cewek terlihat tersedu-sedu dan saling berpelukan satu sama lain, tak kuasa melihat perkelahian itu. “Oke, kalau kalian udah nggak butuh 06 lagi. Kita bakalan pergi! Kita bakalan pergi!” Pekik Parikesit begitu keras, membalikan tubuhnya mengangkat tubuh temannya Umar yang juga terlihat tersungkur seperti Zaenal. Kemudian Parikesit mulai beranjak dari tempat itu dengan Umar yang ia bopong. “Kak, jangan pergi!” teriak Bagus, pasukan Tujuh Belas angkatan 08 yang meski pun lelaki tapi paling tidak tegaan. Para WPS 07 cewek juga mengikuti yang dilakukan Bagus. Dan akhirnya semua angkatan 08 meminta agar senior kelas tiganya itu tidak berajak dari tempat mereka, juga ditambah beberapa angkatan 07. Parikesit tetap acuh, dan terus berjalan menjauh. Nissa berlari mengejar Parikesit kemudian menarik tangan seniornya itu. Parikesit yang sedang kalut mendorong Nissa, sehingga membuat adiknya itu hampir terjatuh. Dari arah belakang datang Tarno, angkatan 07 yang termasuk senior yang paling baik hati, menolong Nissa kemudian berbicara kepada Parikesit. Parikesit masih tidak perduli, ia mulai melangkah lagi, tapi tangannya ditarik Tarno. Dari arah belakang lagi terlihat WPS semua angkatan yang ada di sana berlari menuju arah Parikesit, dan ikut membantu Tarno mencegah kepergian Parikesit dan lainnya. Tarik-tarikan pun terjadi. Parikesit hampir kewalahan. “Kak, jangan pergi Kak! Maafin kita!” pekik seseorang dari dalam kerumunan. Bukan semakin dingin kepala Parikesit malah semakin memanas, kemarahannya memuncak. Dengan sekuat tenaga ia berusaha melepaskan dirinya dari para adik-adiknya itu. Dan akhirnya ia dapat melepaskan tangannya dari tarikan para WPS di bawahnya. Para WPS berteriak-teriak meminta kakak senior kelas tiga itu tidak pergi.
“Diam-diam semuanya!” Parikesit dengan nafas yang belum teratur. Para WPS hampir menarik tangan Parikesit lagi, namun Komandan PII itu langsung mengambil alih pimpinan mereka, “PERHATIAN! Untuk WPS angkatan 07 dan 08 yang ada di sini, SIAP GRAK!” Parikesit menyiapkan adik-adiknya. Sedang Umar kini telah mampu membuat dirinya berdiri sendiri tanpa harus di bopong Parikesit. Semua WPS angkatan 07 dan 08 bersikap siap. Air mata pun bercucuran dari mata mereka. Namun mereka tetap bersikap siap sempurna. Zaenal, Roofi dan semua yang ikut berkelahi tadi terlihat juga berusaha untuk berdiri dan membuat diri mereka bersikap siap. Meski senior kelas tiga telah mereka pukuli dan mereka pun juga dibuat lebam dan babak belur olehnya tapi ternyata mereka masih menghormati para senior itu. Melihat adik-adiknya telah bersikap siap sempurna semua, Parikesit melanjutkan instruksinya, “TURUN!” perintahnya. WPS angkatan 07 dan 08 saling perpandangan satu sama lain, lalu pelan-pelan dan dengan sedikit rasa ragu mereka turun mengambil posisi push up sesuai yang diinstruksikan kakaknya senior kelas tiganya itu. “SATU, DUA, SATU, DUA, SATU!” Parikesit mulai menghitung, anak-anak push up satu hitungan kemudian kembali ke posisi push up semula. “Lihat diri kalian! Memalukan! Kalian pikir WPS itu apa? Ajang leha-leha, main-main? Apa diklat yang kalian jalani itu belum cukup? DUA!” Parikesit melanjutkan hitungan, dan para WPS yang telah turun tadi melanjutkan push up untuk hitungan kedua. “Oh, mungkin memang belum cukup, iya kan? Hey, 08 apa didiklat satu bulan belum cukup untuk kalian?” Angkatan 08 tidak ada yang menjawab. “Hey, 07 apa satu tahun jadi WPS belum cukup untuk menyadarkan kalian? Apa kami kelas tiga harus mendiklat kalian semua lagi, Hah? Kalau memang begitu itu berarti kalian mau membunuh kami pelan-pelan!” Parikesit hilang kesabaran, sedang para angkatan 07 dan 08 hanya diam dan air mata mereka pun tak mampu terbendung lagi. “Kalian sama saja seperti sebelum diklat, urakan, bodoh! Memalukan! TIGA!” Lanjut Parikesit. “Sudah sekarang terserah kalian mau berbuat apa? Kami kelas tiga sudah tidak dihargai lagi di sini! Kalian udah pada gede tau sendiri apa yang musti kalian perbuat!” Parikesit mulai membalikan tubuhnya, diraihnya tangan Umar. Tapi Umar seketika menepis tangan Parikesit. “Sebentar!” katanya pelan dengan suara yang bergetar. Umar melangkah mendekati Ratri yang sedang berposisi push up seperti lainnya. Semua pandangan tertuju ke mereka berdua. “Ini tanggung jawab loe!” Umar berbisik ke Ratri, kemudian membalikan tubuhnya kembali, berjalan menuju Parikesit. Ratri hanya diam, berusaha keras menahan tangisnya. Melihat para senior kelas tiga berniat beranjak dari mereka lagi, beberapa senior angkatan 07 berdiri bermaksud mencegah kepergian mereka. Namun Parikesit segera berbalik dan membentak mereka, “Hey, siapa yang menyuruh kalian berdiri? Pimpinan belum diambil alih, kalian lupa akan hal itu? Atau memang benar kalian udah nggak ngehargai kelas tiga lagi?” mendapat bentakan dari Parikesit, para 07 tadi megurungkan niatnya, dan kembali mengambil posisi push up. Mereka hanya bisa melihat kepergian para senior kelas tiga itu dengan penuh penyesalan.
Parikesit bersama Umar mulai berjalan menjauh, terlihat pula Lasiono yang sedari tadi hanya berdiri diam bersandar pohon di pinggir jalan yang sekarang dituju Parikesit dan Umar. “Ayo, cabut!” ajak Umar pada Lasiono. “Bagus banget.” Lasiono dengan sedikit tersenyum tipis. “Sialan loe!” Parikesit dengan meninju lengan Lasiono, ia juga ikut tersenyum. Tiga orang anak lelaki itu akhirnya hilang di kegelapan. Sekilas sebelum Parikesit dan lainnya pergi, Nanie menangkap senyum Lasiono yang diarahkan kepadanya, Walau tipis kemungkinan tapi Nanie yakin kalau Lasiono memang tersenyum kepadanya. Tapi kalau memang ia tersenyum, yang membuat Nanie penasaran adalah mengapa Lasiono tersenyum kepadanya, dan apa maksud dari senyumnya itu. Nanie pernah mengenal Lasiono cukup baik, ketika diklat. Karena memang mereka berdua Lasiono dan Nanie adalah sama-sama seorang pengibar bendera tengah, diangkatannya masing-masing tentunya. Jadi ketika detik-detik sebelum tugas tujuh belasan Nanie mendapat privat khusus dari Lasiono dan juga Ratri yang juga seorang pengibar bendera tengah. Dan kurang lebih itu membuat suatu ikatan khusus diantara ketiganya.

***

Para WPS angkatan 07 dan 08 masih dalam posisi push up. Dan masih pula terdengar beberapa orang masih tersedu-sedu tidak mampu membuat dirinya berhenti menangis. Tiba-tiba Ririana muncul dengan berlari-lari menuju ke arah teman-temannya. Ririana pun kaget melihat rekan-rekannya dalam posisi push up, dan menangis seperti itu. Segera ia cari komandannya, Zaenal. Setelah ia menemukan sosok yang dimaksud segera saja ia menghampirinya. Ia berjongkok di dekat Zaenal yang masih berposisi push up, ia terkejut seketika melihat wajah Zaenal lebam-lebam dan darah segar masih keluar dari wajahnya dan beberapa bagian di tangannya. Ririana mencoba memfokuskan pikirannya pada tujuan awalnya, ia berusaha tidak memperhatikan dan tidak memepertanyakan tentang kondisi Zaenal dan lainnya sekarang. “Zay, ada berita buruk...” Ririana pelan. “Ada apa Rin?” Zaenal masih dengan posisi push up. “Ully...Ully, Zay!” Ririana agak gugup. Sekarang para WPS telah menyadari kehadiran Ririana, dan semua memperhatikannya. “Iya Ully kenapa?” Zaenal mencari tahu. “Ully hilang, Zay.” Ririana akhirnya mengungkapkan apa yang terjadi. “Apa?” Zaenal tidak percaya. Begitu banyak masalah yang menimpanya barusan, dan sekarang ditambah masalah baru lagi. Kepalanya terasa dihujam begitu banyak batu, sehingga ia tidak mampu berpikir apa-apa lagi. Ditariknya nafas panjang, kemudian ia bangun dari posisi semulanya dan berjalan ke depan menghadap anak buahnya serta adik-adiknya yang masih dalam posisi push up. “Perhatian!” katanya pelan namun tegas. “Siap Grak! Setengah lengan lencang kanan, Grak” lanjutnya lagi. Semua pun kini berdiri kembali membentuk barisan dengan sikap siap sempurna. “Ada berita buruk.” Zaenal memulai. Semua anak WPS diselimuti tanda tanya, namun sebagian masih ada yang sibuk dengan tangisnya. “Ully, hilang!” kata Zaenal pelan tanpa basa basi. “Apa?” Nissa terlihat lemas, tidak percaya. Begitu juga dengan Ratri yang ia sangat terpukul, teringat perkataan Umar yang ia katakan sesaat sebelum ia pergi tadi. “Ini tanggung jawab gue...” Ratri berkata dalam hatinya sendiri. “Nal...!” katanya pelan, seraya menatap Zaenal dengan tatapan serius. Sebagai Komandan dari rekan-rekannya, Zaenal sudah hafal dari setiap sifat-sifat dan kebiasaan-kebiasaan anak buahnya, termasuk juga Ratri. Zaenal sudah langsung mengerti dari cara Ratri memanggil namanya. Ia menganggukan kepala untuk Ratri. Ratri maju ke depan menggantikan posisi Zaenal. “Perhatian Pimpinan saya ambil alih! Los!” katanya. Dari posisi siap anak-anak mengeloskan diri mereka. “Baik! Aku nggak pengen berkata banyak di sini. seperti yang dikatakan Umar, tadi ini semua memang tanggung jawabku. Aku sudah berjanji untuk bertanggung jawab atas kalian, dan kini akan menepatinya. Berita buruk ini memang nggak kita inginkan. Jadi singkatnya, aku instruksikan kalian 08 kembalilah ke perkemahan kita dengan para WPS 07 cewek. Dan untuk kalian rekan-rekanku 07 cowok, yang ingin membantuku mencari Ully silahkan nanati ikut aku. Dan untuk sisanya bisa mengikuti para 07 cewek ke perkemahan, dan hal ini aku anjurkan untuk yang sakit dan terluka.” Jelas Ratri. “Sekarang pertanyaannya... siapa yang ingin ikut aku sekarang?” Lanjut Ratri. Deady langsung mengangkat tangannya, “Gue ikut!” katanya. “Gue juga!” Ari menyusul. “Rat, apa nggak sebaiknya kamu ikut balik anak-anak ke tenda! Biar para WPS cowok yang cari Ully.” Tarno tidak tega bila harus membiarkan Ratri ikut dalam pencarian malam itu. “Nggak, gue harus ikut! Ully tanggung jawab gue! Gue nggak mau lepas tanggung jawab! Pokoknya gue harus ikut!” Ratri keras hati, mengurungkan niat sebagian teman yang ingin mencegah kepergiannya. Semua paham kalau Ratri sudah begini, sudah bulat tekadnya maka tidak Akan ada yang bisa mencegahnya. “Kalau Ratri ikut gue juga ikut!” Pinta Nissa dengan nada yang sedikit memaksa. “Nggak!” Ratri singkat dengan tekanan yang kuat. “Kenapa? Ully itu juga sahabat gue! Dan gue juga WPS. Jadi ini juga bukan cuman tanggung jawab loe Rat! Tapi juga tanggung jawab kita!” Nissa nggak mau kalah. Ratri hampir menitikan air mata. “Oke, sekarang siapa yang mau ikut gue angkat tangan!” terlihat Dyah mengangkat tangannya, “Gue!” ditambah Ririana, ”Gue mau Ully balik ma kita!” Ratri menatapi kedua temannya itu. “Gue, Deady, Yufar, dan Roofi jelas ikut. Loe jangan remehkan kita Rat! Meski keadaan kita gini, kalo cuman buat jalan jauh kita masih kuat.” Zaenal mengajukan diri. “Aku mau ikut, Kak!” Tanpa diduga Nanie juga mengajukan dirinya. Melihat yang dilakukan Nanie, anak-anak 08 pun bangkit semangat korsanya, mereka mengikuti yang dilakuakn Nanie. “Aku juga mau ikut, Kak!” Ecca ingin turut serta. Dan akhirnya semua anak 08 bersedia ikut serta dalam pencarian salah satu kakak seniornya itu. Para 07 juga, mereka sudah jelas ingin ikut semua, karena mereka merasa rekan-rekan mereka adalah yang harus mereka jaga dan lindungi, Termasuk Ully tidak ada yang ingin kehilangan rekan mereka, barang secuil pun.
Ratri tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. “Makasih semua!” katanya. “Baiklah ayo sekarang kita mulai mencari!” Zaenal segera menyergah. “Oke, kita ke tempat terakhir kali Ully berada!” Usul Zaenal dan diiyakan oleh semuanya.
***
Semua WPS yang ada di sana mulai berjalan mengikuti Ririana, seseorang yang terakhir kali bersama Ully. Rombongan WPS itu Ririana Bawa ke sebuah sungai kecil yang ia datangi bersama Ully beberapa saat yang lalu. “Ya, disini Ully mulai menghilang. Pada awalnya gue kira dia bercanda cuman mau nakut nakutin gue. Tapi setelah gue panggil-panggil nggak ada sautan yah gue yakin kalo dia bener-bener ilang!” jelas Ririana dengan sedikit disertai rasa takut. “Apa yang loe lakuin sama Ully sebelum dia ilang?” tanya Nissa. “Gue sama Ully mau pipis waktu itu. Gue nungguin Ully di situ dengan balikin badan gue! Jadi gue saat itu belum sadar kalo Si Ully ilang!” jelas Ririana lagi kali ini wajahnya benar-benar terlihat sangat pucat dalam cahaya redup-redup di sekitarnya. “Apa loe nggak denger suara apa pun? Teriakan kek? Atau langkah kaki kek?” Tanya Zaenal yang merasa sedikit aneh dengan cara hilangnya Ully yang nggak bisa dilogika. Ririana menggelengkan kepalanya dengan lemas. Pikiran-pikiran aneh pun mulai menyelimuti para rombongan WPS itu. Malam yang begitu gelap seperti itu, tanpa senior kelas tiga, tanpa pembina, dan harus ada salah satu mereka yang menghilang ditengah kegelapan seperti itu.
“Baik, sekarang kita akan benar-benar memulai mencari Ully! Kita akan bagi rombongan kita menjadi beberapa kelompok agar kita cepat mencarinya, bagaimana?” Tanya Zaenal, dan semua setuju-setuju saja. Rombongan itu dibagi menjadi enam kelompok. Karena jumlah kelas dua yang lebih sedikit dari kelas satu yang disebabkan tidak semua dari kelas dua ikut dari acara itu, maka untuk kelas dua dibagi menjadi dua kelompok saja. Dan untuk angkatan 08 dibagi menjadi empat kelompok. Tapi setiap kelompok di angkatan 08 harus didampingi satu atau dua senior kelas dua untuk jaga-jaga karena adik-adik mereka itu belum terlalu paham tentang keadaan hutan dimana mereka berada sekarang. Dan mulailah mereka berpisah, dan saling berjanji akan bertemu di perkemahan mereka maksimal sampai waktu tengah malam.

***
Nanie satu rombongan dengan Ecca, dan kelas duanya adalah Kak Deady dan Kak Tarno, berjalan kearah kurang lebih ke timur. Membentuk barisan satu banjar dengan semua senter korek api yang menyala. Di depan barisan terdapat Kak Deady yang menyoroti jalan dengan senter, dan untuk barisan belakang dijaga oleh Kak Tarno yang berjalan pelan mengikuti arah barisan berjalan. Dan tidak lama kemudian terdengar teriakan memanggil manggil nama Ully Krismanti yang terdengar menggema dari arah dalam hutan. Dan itu pun diikuti oleh rombongan Nanie dan lainnya. “Ully!” teriak Deady sekuat tenaga.
“Aduh, kaki gue kok nggak enak yah? Keluh Anita yang merasa ada sesuatu di kakinya. “Ada apa, Nit? Tanya Fithri yang berjalan dibelakangnya. “Nggak tau, nih kaki gue agak sakit nyeri-nyeri aneh gitu!” jelas Anita. “Coba gue lihat!” Fithri serambi menyoroti kaki Anita yang hanya beralaskan sandal itu. “Ah, gawat...Kak!” Fithri keget melihat yang ada di kaki Anita, kemudian memanggil kakak seniornya pelan. Anita yang mulai sadar ada sesuatu di kakinya berteriak. Kontan hal itu membuat Deady dan yang lainnya kaget. Deady mulai berlari ke arah Anita. “Ada apa, Dek?” Tanyanya diselimuti rasa cemas. “Ad...ad...ada lintah Kak!” Fithri yang merinding, sambil menunjuk ke arah kaki Anita. Anita yang panik badannya gemetar dan tidak mampu ia gerakan, lemas tidak mampu beranjak dari tempatnya. “Ada apa Dead?” Tanya Tarno yang berlari dari arah belakang. Deady menunjuk Anita. “Tenang, Dek!” Tarno mencoba membuat suasana tidak tegang. “Tenang, tenang! Duduklah dulu! Kalian juga duduklah sambil istirahat dan agak merapatlah!” perintah Tarno sembari mendudukkan Anita. Tarno mulai menarik lintah itu dari kaki Anita. Ia berusaha menariknya dengan sekuat tenaga, tapi lintah itu tak mau lepas dari kaki Anita. Anita yang ketakutan, hanya bisa menangis dan rasa khawatir mulai menyelimuti seluruh pemikirannya. Begitu pula dengan teman-temannya yang merasa kasihan dan sama takutnya dengan Anita. “Nggak mau lepas tu, Kak!” adu Tarno yang mulai putus asa menarik lintah itu dari kaki adik juniornya. Deady juga terlihat gugup dan kebingungan. “Terpaksa, kita harus lakukan ini!” Deady dengan memasang wajah yang penuh kekhawatiran. “Pinjem, Dek!” Deady seraya mengambil senter korek api dari tangan Ecca. Anita yang mulai tahu apa yang akan dilakukan kakaknya itu, merasa rasa takutnya bertambah. Deady mulai menghidupkan korek api dari senter korek api itu. “Nggak apa-apa kan, Dek?” Deady kepada Anita. Anita mengangguk pelan, air matanya mulai bercucuran. Dan ketika Deady mendekatkan korek apinya ke kaki Anita, Anita pun langsung menutup matanya begitu juga dengan beberapa orang yang tidak tega melihat kaki Anita harus bersentuhan dengan api dari korek api itu demi terlepasnya seekor lintah. Deady mendekatkan api dari korek yang ada di tangannya dengan hati-hati dan ia berusaha agar apinya itu seminimal mungkin bersentuhan dengan kaki adik juniornya. Lintah di kaki Anita sedikit demi sedikit mulai mengeliat, dan mengkerut. Dari tubuh lintah itu keluar cairan, dan sedikit demi sedikit lintah itu mulai merenggangkan dirinya dari kaki Anita. Dan saat saat itu tidak disia-siakan begitu saja oleh Deady, dia langsung saja menarik tubuh lintah yang sedang menggeliat itu dari kaki Anita. Tersirat rasa kelegaan dari wajah Anita, setelah lintah itu terlepas dari kakinya. Namun, “Aa....!” Tiba-tiba Anita berteriak histeris, dan kontan itu membuat semua yang di sana menjadi terkejut dan penuh tanda tanya. “Ada apa, Nit? Lihat lintahnya udah terlepas, loe tenang aja!” Deady mencoba membuat adiknya tenang. Anita gemetaran, wajahnya lebih pucat dari sebelumnya, sepertinya dia baru saja mengalami hal yang lebih buruk dari pada sekedar terkena lintah. “Nit, loe kenapa? Cerita sama kita!” Ayu yang khawatir terhadap keadaan temannya yang satu itu. Anita hanya diam, tubuhnya masih bergetar, dipandanginya semua teman-temannya satu persatu. Dan itu membuat suasana di sana semakin tegang. Anita menangis nafasnya tidak teratur. “Cerita sama kita, Nit! Loe kenapa?” Ayu menanyai teman seangkatannya itu. Anita hanya menangis, menggeleng gelangkan kepalanya, kemudian menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. “Ya udah mungkin Anita sedang butuh ketenangan sekarang!” Deady menebak. “Sekarang kalian menjauhlah dari aku dan Anita! Aku akan bicara padanya, mungkin dengan begitu dia akan merasa lebih nyaman menceritakan yang terjadi padanya! Jadi sekarang kalian sedikit menjauhlah, beri Anita sedikit ruang!” perintah Deady kepada rombongan yang di bawanya. Dan para WPS angkatan 08, bersama dengan Tarno menjauh dari Deady dan Anita.
“Sebenernya, apa sih yang terjadi sama Anita?” Ayu terlihat paling khawatir diantara kawan-kawan yang lainnya. “Mungkin dia ngrasain sakit setelah lintah itu terlepas dari kakinya!” pendapat Fithri. “Tapi dari ekspresi wajahnya tidak terlihat seperti orang yang kesakitan, tapi lebih ke arah orang yang sedang terkejut dan ketakutan.” Ecca menyampaikan opininya, “Tapi, kalau memang begitu, apa yang benernya membuat Anita sampai terkejut dan ketakutan begitu hebatnya, sehingga ia jadi histeris seperti itu?” Tambah Abdur. “Nie, gimana pendapat loe?” Tanya Ayu yang melihat Nanie hanya diam saja dari tadi. “Ehmm...Apa?” Nanie sedikit kaget. “Loe kenapa sih, Nie? Sepertinya pikiran loe lagi nggak di sini deh sekarang. Loe lagi mikirin apa?” Ayu mencoba mencari tahu. “E...Enggak gue nggak lagi mikirin apa-apa.” Jawab Nanie berbohong, sebenarnya ia masih memikirkan, senyum Lasiono tadi. Senyumnya begitu aneh, membuat Nanie terus bertanya-tanya apa yang sebenarnya ada dibalik senyum kakak senior kelas tiganya itu. Senyum itu seperti mengisyaratkan sesuatu, senyum itu seakan mewakilkan kata-kata, “Aku percaya padamu...”atau, ”Kamu pasti bisa, tidak usah khawatir!”.
Ayu sebenarnya belum puas degan jawaban Nanie, tapi dia segera beralih ke arah kakak Tarno satu-satunya senior kelas dua yang mendengarkan pembicaraan mereka sekarang. “Menurut Kakak bagaimana?” Ayu meminta mendapat dari Tarno. “Yah, memang benar teriakannya seperti orang yang sedang ketakutan. Seperti baru saja melihat sesuatu yang membuat dirinya benar-benar ketakutan. Dan menurutku satu-satunya hal yang paling sering membuat orang-orang ketakutan di hutan malam-malam begini adalah...” Tarno memandangi adik-adiknya, dan adik-adiknya pun juga saling berpandangan seakan mereka tahu apa yang dimaksud oleh senior kelas duanya itu. “Hantu?” kata Danang pelan. “Hantu?” ulang Fithri tapi dengan nada yang terdengar berbeda. “Aku sepertinya telah mengalami rasa takut seperti ini teman-teman.” Fithri mengungkapkan yang dirasakanya. “Maksudnya?” Ayu penasaran. “Ya, saat di barisan tadi saat kita saling bergandengan...” Fithri sedikit takut melanjutkan ceritanya. “Iya, apa yang terjadi?” Nanie menjadi berkonsentrasi dengan pembicaraan mereka, mencoba mengorek kebenaran. “Gue sepertinya sudah bertemu dengan yang kita maksud itu sebelumnya.” Jelas Fithri. “Maksud loe hantu Fith?” Ecca penasaran. “Iya. Jadi waktu gue dapet instruksi dari belakang buat nanya yang ada di depan gue, ya gue lakuin. Dan saat itu gue tanya siapa yang ada di depan gue. Nggak dijawab. Trus gue tanya lagi, katanya dia itu Wibbi tapi gue inget banget suaranya nggak jelas trus kaya nggak pasti gitu. Gue cuek aja waktu itu, nggak ada pikiran curiga atau lainnya tapi setelah kita berjalan di jalan yang kakak-kakak kita bawa lilin itu, gue jelas bisa melihat sosok yang ada di depan gue tanpa kesulitan. Setelah gue perhatiin yang ada di depan gue itu nggak seperti Wibbi, tapi Hananto. Gue tanya yang ada di depan gue ternyata memang Hananto, sedang Wibbi sendiri ternyata ada di barisan paling depan. Dan saat itu pikiran pikiran aneh mulai menyelimuti benak gue. Gue tanya lagi apa tadi ada yang nanya nama sama Hananto, ternyata nggak ada. Jadi kesimpulannya yang ada di depan gue tadi bukan Wibbi, juga bukan Hananto. Entah siapa atau apa tadi yang ada di depan gue, gue nggak tau pasti. Tapi gue berusaha untuk membuat diri gue tenang, dan berpikir logika kalau hantu itu nggak ada. Cuma berasal dari perasaan kita saja. Tapi setelah ini...gue jadi yakin kalau mereka benar ada!” cerita Fithri, dan itu membuat anak-anak menjadi sedikit tidak tenang. Nanie dan Ecca saling berpandangan. “Gue juga mau buat pengakuan!” kata Harrinanie,” Sebenernya jumlah orang yang ada di barisan kita tadi juga nggak sesuai. Ada tiga puluh lima orang dalam barisan, seharusnyakan tiga puluh empat kalau dua orang nggak ikut. Gue bohong soal gue yang berkata tiga puluh empat lengkap itu. Sebenernya masih ada Ecca di belakang gue. Jadi emang bener banget kalo ada satu orang lagi yang ada di barisan kita waktu itu. Dan pasti seseorang itu adalah yang ada di depan Fithri tadi.” Harrinanie menimpali. Fithri menjadi lebih ketakutan dari sebelumnya, jadi memang kemungkinan yang ada di depannya itu tadi adalah hantu adalah sangat besar.
Di kejauhan dapat dilihat Deady sedang berbicara dengan Anita. Sangat serius. Namun sekarang tampak Anita lebih tenang dari pada sebelumnya. Setelah beberapa bicara akhirnya Deady mengajak Anita berdiri kemudian melambaikan kepada Tarno dan Para WPS 08 lainnya yang sejak tadi menunggui mereka. Deady menyambut Tarno, “Sekarang ayo kita cari Ully lagi!” instruksi Deady. “Dan jangan ada yang bicara sama Anita sementara waktu!” Tambahnya tapi dengan suara yang lebih pelan.
Dan rombongan itu mulai bergerak lagi. Melanjutkan apa yang mereka lakukan sebelumnya, mencari kakak senior mereka yang entah hilang kemana. Mereka meneriakkan kembali nama kakak mereka itu,”Kak Ully” pekik Ecca, dan diikuti oleh para WPS lainnya. Mereka berjalan terus menyusuri jalan yang ada di depan mereka. Sedang Anita masih dibiarkan diam sendiri, tidak ada satu orang pun yang mengajaknya bicara seperti yang diinstruksikan oleh Deady. Diam, dan diam itulah hal satu-satunya hal yang dilakukan Anita dia tidak memanggil manggil nama kakak seniornya seperti yang lainnya. Namun, kediaman dan kesendirian itu tidak membuatnya makin membaik. Karena tidak ada yang mengajaknya bicara jadi dia juga tidak berkata apa pun, dia hanya terus berjalan dengan tatapan kosong seperti orang yang sedang melamun. Ayu memperhatikan hal itu. Kemudian ia menyenggol tangan Nanie yang ada di sampingnya. “Nan, lihat tu Si Anita!” Nanie pun mengalihkan pandangannya ke arah temannya yang dimaksud Ayu. “Aneh banget dia! Jalan terus dengan tatapan kosong kaya’ gitu. Seperti orang yang terkena hipnotis.” Pendapat Fithri yang juga ikut memperhatikan Anita. Harrinanie berjalan mendekati Anita. Kemudian ia mulai berbisik kepada temannya yang seperti orang yang tidak sadarkan diri seperti itu. “Nit, Nita. Anita!” Harrinanie pelan. Anita tidak memperdulikan Harrinanie ia terus berjalan lurus ke depan tanpa memperdulikan tujuannya. “Anita kenapa? Tanya Tarno mendekati Nanie. “Nggak tau Kak!” Harrinanie menggeleng-geleng. “Nit, Nita!” Panggil Tarno seraya berlari mendekati Anita yang terus berjalan tidak terkotrol. Semua yang di sana mengalihkan pandangan mereka pada Anita, ‘Apa yang terjadi lagi dengannya itulah yang ada di benak mereka. Tarno menarik tangan Anita, Anita berontak ingin melepaskan lengannya dari cengkeraman Tarno. Deady datang membantu Tarno. Anita tidak mampu menahan lagi tarikan kedua kakak seniornya itu. Badannya bergetar, Tarno dan Deady bisa merasakannya. Anita terjatuh, terduduk di tanah, semua rekannya mendekat mengerubunginya mencoba mencari tahu keadaan temannya itu. Anita menangis lagi, tapi dengan tatapan yang terus tertuju ke depan, badannya masih bergetar semakin kencang, juga dapat didengar eraman darinya. Persis seperti orang yang sedang kesurupan. Atau mungkin memang itulah hal terjadi kepadanya sekarang. Eraman Anita semakin keras, ia meronta ronta ingin melepaskan dirinya dari Deady dan Tarno. Deady dan Tarno memperkuat kuda-kuda mereka untuk menahan adik juniornya itu agar tetapi berada di tempatnya. Beberapa WPS 08 yang ada di sana juga ikut membantu. Tanpa di komando semuanya berdo’a. Mereka melantunkan ayat kursi berulang ulang. Tarno membimbing Anita untuk istigfar. “Istigafar, istigfar, Dek! Atagfirulah, astagfirulah!” Bisik Tarno. Sedang Deady yang ternyata Noni atau Non Islam hanya berusaha menenangkan adiknya itu. Anita yang seperti tidak sadar diri terus berteriak teriak histeris, tubuhnya melemas dengan posisi tidur. “Tenang, tenang Nit!” Deady menenangkan. Anita sudah mulai terkendali, nafasnya mulai teratur, dan ia tidak lagi berteriak-teriak histeris. “Semua, tetap tenang jangan ada yang mengosongkan pikiran!” instruksi Tarno. Dan semua hanya bisa menurut karena mereka tidak ingin mengalami hal yang seperti dialami temannya barusan. Kesadaran Anita pelan-pelan mulai kembali. Ia tidak menunjukan tatapan kosong lagi. Ia mampu memandangi wajah-wajah orang yang mengerubunginya. Sesaat kemudian ia mulai menangis. Ayu mendekat, kemudian dipeluknya temannya itu. “Udah, udah, Nit!” Ayu juga ikut menangis.
Deady dan Tarno saling berbisik, membiacarakan suatu hal. “Baik, ini sudah diputuskan!” Deady setelah melakukan pembicaraan sebentar dengan Tarno. “Sekarang mau tidak mau, kelompok kita harus dibagi menjadi dua. Karena keadaan teman kalian yang kurang baik maka dia akan dibawa kembali ke perkemahan, bersama dengan kelompok pertama yang akan kita bagi nanti. Dan untuk kelompok kedua tetap berada di hutan ini, untuk melanjutkan misi awal kita disini. “Lanjut Deady. “Untuk mempercepat waktu kita akan segera membagi siapa-siapa saja yang akan menjadi anggota dari kelompok satu maupun kelompok dua. Anita jelas kau akan ikut kelompok yang pertama!” Deady seraya mengalihkan pandangannya kearah adik juniornya itu. Anita hanya pasrah, ia menerima apa saja yang akan dilakukan kakak-kakak seniornya asal itu baik untuknya. ”Ayu, Danang, Fithri, ikut Anita ke perkemahan. Sedang Nanie kamu mau ikut sama Anita dan lainnya atau ikut mencari Ully?” tanya Deady. “Em...aku ikut mencari Kak Ully aja, Kak.” Kata Harrinanie mantap. “Baiklah yang sudah aku sebutkan tadi ikut bersamaku kita kembali ke perkemahan. Dan sisanya ikut Kak Tarno melanjutkan mencari Kak Ully. Dan jangan lupa kalian harus kembali ke Sungai bertemu rombongan lainnya tengah malam nanti. Dan untuk kalian yang bersamaku, tetap tenang jangan ada yang berbuat yang aneh-aneh di perjalanan. Oke, kita berpisah disini. Tarno aku titip mereka.” Deady seraya bersalaman dengan Tarno, “Oke, aku titip mereka juga!” Tarno menimpali. Dan mereka pun terpisah menjadi dua rombongan. Deady yang kembali perkemahan dan Tarno yang melanjutkan tujuan mereka sebelumnya.
***
Tarno berjalan ke arah timur dengan membawa lima adik juniornya, Ecca, Zarkasih, Abdur, Agus, dan Harrinanie, yang menjadi satu satunya anak perempuan dalam rombongan itu. Sedang Deady bersama rombongannya berjalan ke selatan. Tarno dan rombongannya mulai meneriakkan nama Ully lagi. Mereka berjalan terus lurus ke depan dengan Tarno di bagian depan dan Ecca yang ada di paling belakang. “Ca...Ecca!” panggil Nanie pada Ecca yang berada tepat dibelakangnya. “Ada apa, Nie?” Ecca merespon. “Loe, ngrasa ada yang aneh nggak?” Harrinanie seraya memperlambat langkahya agar sejajar dengan Ecca. “Maksudnya?” Ecca belum mengerti. “Gini lho, gue tuh ngrasa aneh banget! Yah, soal ritual tadi, pertengkaran tadi, juga hilangnya Kak Ully, dan mungkin juga kejadian yang seperti kesurupannya Anita tadi.” Harrinanie menghela nafasnya sebentar. Sedang Ecca mendegarkannya serius, ia merasa Harrinanie adalah sosok yang memiliki insting atau mungkin intuisi yang bagus yang lebih dari rekan-rekannya yang lain. “Gue, ngrasa ini semua sudah di planning atau sudah direncanakan sebelumnya.” Nanie menyampaikan opininya, sedang Ecca menjadi terheran heran, ia merasa sedang berada dalam film detektive detektivan sekarang, yang butuh pemecahan jitu dari suatu misteri. “Yah, mungkin loe bingung kenapa gue bisa berpikiran begitu. Gue sebenernya juga nggak tau kenapa gue bisa punya pikiran seperti itu, pikiran pikiran itu datang begitu saja ke gue. Atau mungkin gue merasakan kejanggalan saat gue ngeliat senyumnya Kak Lasiono tadi, yah!” Nanie melanjutkan yang ia rasakan. “Kak Lasiono?” Ecca telah mengerti soal kecurigaan Harrinanie, tapi ia tidak paham mengenai hubungannya masalah itu dengan senyum Lasiono. “Sini biar gue jelasin, Ca! gue mulai kenal Kak Lasiono sejak diklat dulu, tepatnya setelah gue terpilih menjadi pasukan delapan pengibar bendera tengah. Dan dengan alasan itu juga Kak Lasiono memberi privatlah ke gue, secara dia juga pengibar bendera tengah ditahunnya. Dan dari situ kurang lebih gue tau tentang watak watak atau sifat sifat dari Kak Lasiono. Dan mungkin juga sebaliknya. Dan gue tau banget kalau Kak Lasiono itu adalah tipe orang yang nggak bisa bohong, sekali dia bohong dia kan merasa takut dan dari situ tentu orang lain akan tau kalau dia itu sedang berbohong. Loe inget saat kakak-kakak kita berantem tadi, kenapa saat Kak Parikesit dan Kak Umar mati- matian berantem sama kelas dua, Kak Lasiono hanya diem saja nggak bertindak apa-apa. Padahal yang gue tahu mereka itu punya ikatan dalam WPS yang saling menjaga dan melindungi. Jadi kalau teman mereka sedang kesusahan maka mereka itu punya suatu perasaan yang mereka diharuskan untuk membantunya, yang sering kita sebut dengan semangat korsa. Loe inget ga?” Tanya Nanie kepada Ecca yang sejak tadi setia mendengarkan yang ia bicarakan. Dan Ecca hanya manggut-manggut. “Dan Kak Lasiono tadi. Loe lihatkan dia tadi tidak ada sedikit pun rasa korsanya. Padahal gue pernah denger nih, dari Kak Lasiono sendiri kalau dia tuh pernah berantem sama senior angkatan 05 cuman gara-gara ada yang bentak teman seangkatannya. Padahal dalam WPS tuh dibentak-bentak itu kan hal yang wajar. Jadi dapat ditarik kesimpulan kalau Kak Lasiono itu sebenernya punya semangat korsa yang tinggi, tapi tadi semangat korsanya tidak muncul sedikit pun, dan satu-satunya hal yang mungkin jadi penyebabnya adalah karena kejadian tadi cuma sebatas sandiwara. Dan Kak Lasiono sesuai yang telah gue ceritain tadi, dia tuh lemah banget dalam berpura-pura dan berbohong jadi, mungkin dia diputuskan untuk tidak terlibat dalam adegan baku hantam tadi, yang gue curigai hanya sebuah sandiwara dari kakak-kakak kita.” Harrinanie antusias bercerita. “Tapi, kenapa tadi pukul pukulan beneran, sampe ada yang terluka lagi?” Ecca sedikit meragukan Nanie. “Yah, mungkin itu tradisi. Dan mau nggak mau mereka harus lakukan yang seperti itu. ”Jelas Nanie, yang membuat Ecca merasa kalau Nanie punya daya imajinasi yang tinggi. “Dan, untuk jumlah orang dalam barisan yang tiga puluh lima tadi?” Ecca menguji Harrinanie, tentang kesimpulan yang baru saja ia ungkapkan. “Kalau itu gue belum tahu. Tapi gue yakin pasti ada suatu penjelasan dibalik semua ini.” Harrinanie tetap teguh, sedang Ecca sudah menduga Nanie belum mampu menemukan jawaban pasti. “Lalu apa, rencanamu sekarang?” tanya Ecca. “Rencana?” Harrinanie sedikit terkejut dengan pertanyaan Ecca. “Iya, rencana. Kau pasti punya rencana kan?” tebak Ecca. “Oh, ya. Kau pintar sekali bisa menduga kalau aku punya sebuah rencana. Tapi pertanyannya apa kau mau ikut menjalankan rencanaku?” Harrinanie belum sepenuhnya berpikir kalau Ecca mau membantunya. “Kenapa tidak?” Jawab Ecca santai. “Baiklah, rencana pertamanya adalah ayo sekarang kita pergi dari sini, kita berpisah dengan lainnya.” Ungkap Harrinanie. “Oke!” Ecca tanpa pikir panjang. Mereka berdua akhirnya berlari ke kanan, menjauh dari rombongan mereka. Jauh, dan terus mencoba menjauh. Mereka berlari sejajar dengan kedua tangan mereka yang saling bergandengan erat ditengah kegelapan. Mereka berlari dengan penuh semangat petualangan. Tawa-tawa kecil pun mengirigi langkah kaki mereka. “Stop, Stop!” Harrinanie berhenti setelah merasa cukup jauh, dengan nafas yang ngosngosan. Ecca juga berhenti sambil mengatur nafasnya, diambilnya senter korek apinya lalu ia nyalakan. “Lalu apa selanjutnya?” Ecca seraya menyoroti jalan yang ada di depan mereka. “Rencana kedua adalah, mencari kebenaran.” Harrinanie berusaha menguasai nafasnya. “Mencari kebenaran? Bagaimana caranya?” Tanya Ecca. “Nah, itu dia gue belum tahu soal itu.” Harrinanie menatap Ecca, Ecca balik menatapnya dengan pandangan sedikit terkejut dan bercampur kesal. “Apa, jadi kau belum punya recana kedua?” Ecca kaget. “Iya. Sebenernya aku mau bicarain rencana keduanya denganmu tadi. Tapi kau keburu memintaku menjalankan rencana pertama. Ya sudah aku menurut saja, memisahkan diri dari rombongan tanpa tahu apa yang akan kita lakukan selanjutnya.” Jelas Nanie sedikit enggan untuk meng loe guekan Ecca, yang membuat Ecca semakin tak mengerti. “Ya sudahlah! Ini semua sudah terlanjur terjadi. Nggak ada gunanya kita sesali.” Ecca mencoba sebijaksana mungkin. “Aha, bagaimana kalau kita mencari rombongan para senior atau para kelas tiga?” usul Nanie. “Yah, kalau itu yang kau pikirkan, baiklah ayo kita lakukan” Ecca menurut saja. “Tapi, masalahnya di mana para seniornya kita? Dan yang lebih penting lagi di mana kita sekarang? Jujur aku bener-bener buta arah di sini!” Aku Harrinanie. “Ya benar pohon-pohon di hutan ini membuat aku kebingungan. Mereka semua terlihat sama terlebih di saat malam-malam seperti ini.” Tambah Ecca. “Trus bagaimana?” Nanie kehilangan akal. “Sudahlah kalau begitu kita jalan dulu saja!” Ajak Ecca, dan Harrinanie hanya dapat menurut. Dan mereka mulai berjalan ke arah selatan. Mereka berjalan beriringan dengan senter korek api keduanya yang menyala. Kadang mereka saling berdiskusi untuk menentukan arah selanjutnya. Nanie ingat akan suatu hal, ternyata ia telah menyelipkan sebuah kompas dalam saku celananya dan itu kurang lebih membantu mereka dalam menentukan jalan selanjutnya.
“Titutitutit...” terdengar suara hand phone. “Hand phone! Hand phone gue!” Harrinanie kaget dan berhenti, dirogohnya semua saku yang ada di celana dan jampernya. “Loe bawa hand phone, Nie?” Ecca agak keget mengetahui kalau Nanie membawa hand phonenya. “Ini dia!” sesaat setelah ia menemukan hand phonenya. “Astaga...!” Nanie terkejut. “Ada apa, Nie?” Ecca penasaran. Nanie kemudian menunjukan hand phonenya pada Ecca. Ternyata SMS dari keluarga dan teman temannya baru dapat ia terima sekarang. Juga beberapa panggilan tak terjawab dengan nama Si pemanggil Danur. Dibukanya inbox dari hand phonenya, terlihat beberapa SMS dari Danur juga. Dibacanya satu SMS dari seseorang bernama Danur. “Nie, loe dimana? Loe baik-baik aja kan? Kok loe nggak bisa di hubungin? Gue khawatir sama loe...” Nanie membacanya dengan raut wajah yang sedih. Nanie hampir menitikan air mata, namun ia segera menahannya lalu membuka buku telefon di HPnya mencari nomor seseorang yang bernama Danur. Dan ia mulai men dial nomor itu. Ecca hanya diam diperhatikannya cicin putih yang menjadi gantungan dari hand phone itu. Panggilan Nanie mulai tersambung. Lalu tak lama kemudian terdengar seseorang bicara di seberang sana. “Nan, loe kemana aja? Kenapa gue telefon, SMS nggak bisa? loe baik-baik ajakan? Sakit loe nggak kambuh kan?” seseorang yang ternyata Danur itu mulai menghujani Harrinanie dengan pertanyaan-pertanyaan. Nanie mulai menangis, ia tak kuasa lagi menahannya. Nanie juga merasakan seperti apa yang dirasakan seseorang di seberang sana, rindu yang begitu dalam. Danur sendiri ternyata adalah kekasih Harrinanie yang terpisah jarak dengan Nanie, karena keinginan Nanie untuk melanjutkan sekolahnya ke Solo, sedang Danur sendiri masih setia menunggu di tempat Nanie dulu tinggal di Majenang, Cilacap. “Nan, loe nangis?” tanya Danur yang mendengar tangisan Nanie. “Ya, iyalah, Bodo!” Jawab Nanie tersedu, masih dengan air mata yang menetes. “Udah, jangan nangis gitu donk!” pinta seseorang yang bernama Danur itu. “Nggak nangis gimana, orang aku lagi sedih, masa’ nggak boleh nangis!” Nanie terlihat begitu dekat dengan Danur, dan Ecca menemukan suatu kemesraan antara mereka berdua yang mungkin sudah tidak dapat terpisahkan. “Iya, iya kamu boleh nangis!” Danur pengertian. “Sekarang kamu sedang apa?” tanya Danur. “Aku...sedang...” Harrinanie tersadar, dipandangnya Ecca yang sejak tadi hanya diam memperhatikannya, Ecca hanya tersenyum. “Halo Nan, Nanie...kamu kenapa?” Danur sedikit khawatir suara Nanie menghilang sesaat. “Emh...apa? kam..kamu tadi tanya aku sedang apa?” Harrinanie sedikit tergagap. “Iya, kamu sedang apa? kok tumben banget bisa ngubungin aku, kan biasanya aku sulit banget aku hubungin. Yah, aku maklum sih kalo kamu sedang di daerah gunung pasti sulit banget dapat sinyalnya. Tapi ternyata kamu bisa ya ngubungin aku sekarang, apa kamu udah balik dari ke Bumi Perkemahannya?” Danur ingin tahu. “Sinyal? Balik? Nggak aku belum balik.” Harrinanie agak terheran. “Dan, Danur udah dulu yah! Nanti gue hubungin lagi. Loe jangan ngubugi gue lagi sekarang, gue lagi ada kerjaan penting! Dan gue pasti baik-baik aja loe nggak usah khawatir! I miss you” Nanie menutup telefonnya tanpa menunggu jawaban dari Danur. “Ca, gue sadar sekarang!” Harrinanie berapi-api. “Sadar tentang apa?” Ecca yang kadang tidak begitu mengerti dengan pemikiran Harrinanie. “Gini, kalau sekarang kita dapet sinyal itu berarti kita...”Nanie tidak melanjutkan kata katanya,” Iya, kita...” Ecca menimpali seakan sekarang ia tahu yang dimaksudkan Nanie. “Kita udah deket sama...” Nanie terputus lagi,” Sama perumahan penduduk pastinya.” Ecca mantap. “Baiklah rencana ketiga kita adalah menemukan perumahan penduduk sekitar sini, bagaimana?” Tanya Nanie dan Ecca pun mengiyakannya. Mereka mulai berjalan lagi entah kemana arahnya yang jelas mereka terus berjalan ke depan.
“Nie, tadi itu cowok kamu yah Nie?” Tanya Ecca membuka pembicaraan diantara keduanya dengan masih terus menyusuri jalan di depan mereka. “Iya!” jawab Nanie pelan dengan sedikit malu-malu dan mukanya akan tampak memerah jika kau sedang dalam keadaan pencahayaan yang memadai. “Gue udah pacaran sama dia lama banget. Dia udah kaya’ hidup dan mati gue. Dia selalu jagain gue dan mau ngertiin gue. Dia mugkin akan yang jadi terbaik untuk gue.” Nanie mencurahkan isi hatiya. “ O...gue juga ngrasa dialah yang bakalan jadi yang sangat berarti untukmu.” Ecca simpati terhadap Nanie yang begitu mencintai cowok bernama Danur itu. Sebenarnya dari awal Ecca mengenal Nanie, Ecca hanya menganggapnya sebagai seorang teman saja begitu pula dengan Nanie. Tapi karena rekan-rekan seangkatan mereka yang selalu seperti menjodoh jodohkan mereka mau tidak mau mereka menjadi terlihat dekat. Padahal untuk mereka hubungan mereka hanya hubungan persahabatan biasa saja. Mungkin sudah jadi adatnya kalau komandan selalu akan terlihat mempunyai hubungan khusus pasukan delapan pengibar bendera tengah karena keduanya adalah merupakan tonggak keberhasilan tugas tujuh belasan di tahun angkatan mereka. Hal seperti itu juga pernah dialami Zaenal dan Ratri mereka pernah digosipkan punya hubungan khusus tapi nyatanya mereka hanya sebatas rekan biasa saja. Dan malah akhirnya ternyata Umar sang seniorlah yang menaruh hati kepada Ratri adik juniornya. Dan hal itu terjadi lagi ditahun para WPS 08, terdengar desas desus mengenai kedekatan hubungan Ecca dan Harrinanie. Keduanya satu sama lain menyadari hal itu, tapi mereka biarkan saja karena mereka sama-sama tahu kalau mereka berdua sama sekali tidak menaruh perasaan khusus, jadi mereka santai saja menanggapi gosip miring itu, toh, nanti kebenaran akan terugkap nantinya.
“Ya ampun gue inget!” Nanie tiba-tiba berhenti. “Teringat apa, Nie?” Ecca juga ikut berhenti. “Gue inget kalau Arofah juga bawa hand phone.” Nanie sedikit kegirangan. “Jadi loe mau nelfon dia, Nie?” Ecca tau arah pembicaraan teman seperjalanannya itu. “Iya!” Jawab Nanie seraya mengeluarkan hand phonenya lalu berniat menghubungi Arofah. “Tapi, kalau ternyata Arofah tidak dapet sinyal?” Ecca merasa sedikit khawatir. “Apa salahnya kita coba.” Nanie masih bersama keinginannya tadi. “Tapi, Stop! Jangan dihubungi dulu!” Ecca sedikit memaksa. “Kenapa?” Nanie tidak mengerti. “Begini kita kabur loe inget karena apa? Karena mencari kebenaran kan? Dan ditambah loe bilang kalau kakak-kakak kita hanyalah bersandiwara dimalam ini. Jadi jika loe menelfon Arofah dan diketahui kakak senior yang sedang bersamanya maka rencana kita untuk mecari kebenaran itu akan gagal, dan sebaiknya kita biarkan saja Arofah dan lainnya mengikuti alur cerita yang telah disiapkan kakak-kakak kita, selama kita mencari apa yang sebenernya terjadi disini. Jujur Nie, gue nggak mau nglibatin mereka dalam misi kita kali ini.” Aku Ecca. “Ada benernya juga kata loe, Ca! tapi gue kan tetep ngubungi Arofah dengan SMS, gue tau banget kalau hand phone Arofah Cuma digetar saja jadi nggak bakalan kedengaran sama kakak senior yang ada bersamanya. Gue cuma pengen tahu posisi dan keadaan mereka, juga gue akan minta bantuan sama Arofah untuk mengetahui kurang lebihnya dimana kita sekarang, mungkin dia bisa bantu.” Harrinanie bersikeras menghubungi Arofah, dan Ecca hanya mengalah. Mereka melanjutkan perjalanan yang entah ke mana arahnya, dengan Nanie yang menekan tombol-tombol hand phonenya membentuk tulisan yang disebut dengan SMS. Kemudian ia kirimkan ke nomor Arofah. Ternyata berhasil. Ecca dan Nanie menjadi girang mereka tertawa dan melompat-lompat, dan kemudian diakhiri dengan tos dari kedua telapak tangan mereka. Arofah menerima SMS Nanie, pertamanya ia belum paham yang dimaksudkan Nanie tadi, tapi akhirnya ia mengerti. Nanie dan Arofah terus berkomunikasi lewat SMS, menyusun sebuah rencana kecil untuk mengungkap kebenaran. Tau mungkin lebih dari sekedar itu, mereka berdua ditambah Ecca menyusun sebuah rencana yang mereka sebut kejailan kecil dari seorang junior. Arofah mendiskripsikan posisinya. Nanie mencoba menerka nerka posisi Arofah. Ia berlari bersama Ecca mencari dataran yang agak tinggi, lalu berdiri tegak menghadap arah datangnya mereka tadi. Dipandanginya pohon-pohon yang terlihat kelabu itu, ia mencoba mencari-cari cahaya di dalamnya. “Nie, lihat itu!” Ecca seraya menunjukan tempat dimana ia bisa melihat cahaya-cahaya kecil saling berjejer dan mulai merayap pelan dan pelan. “Yah, bagus. Itu mungkin Arofah dan rombongannya. Harrinanie kembali megutak atik hand phonenya lagi. “Yes benar itu mereka. Dan kau lihat cahaya biru yang berputar putar di sana, itu pasti Arofah!” Harrinanie begitu gembira dia tidak menduga ia mendapatkan kemudahan yang tidak disangka. “Siap memulai rencananya?” Tanya Harrinanie pada Ecca seraya merogoh sesuatu di dalam kantongnya. “Oke, lakukan lah! Aku siap!” Ecca dengan senyumnya yang berkembang.
***
“Priiiiittttt!” terdengar suara peluit yang menggema dari suatu arah dari hutan itu. Arofah bersama rombongannya yang ditemani Wahid dan Roofi sebagai pendampingnya pun menjadi terkejut penuh tanda tanya. “Suara apa itu?” Roofi sembari menajamkan pendengarannya. “Ku kira itu adalah sebuah suara peluit.” Tebak Wahid, dan semua pun ternyata sependapat. Kemudian suara itu mulai terdengar kembali, setelah suara tiupan panjang di awalnya tadi. Bunyi keduanya terdengar dengan nada yang sudah tidak asing bagi mereka para WPS, bunyi itu terdengar sama seperti nada aba-aba “Perhatian untuk WPS semua angkatan, tiga bersaf kumpul!” bila itu terjadi dalam PBB. Semua yang ada di sana pun secara refleks menjawab bunyi tiupan itu dengan, “Siap tiga bersaf kumpul!” mereka serentak. Setelah itu mereka dalam posisi siap dengan tidak membentuk suatu barisan. Senyap sesaat di sana semua saling berpandangan. Untuk ketiga kalinya suara itu berbunyi lagi, dan bernada, “Mulai!” bila saat berada dalam PBB. Setelah tiupan pendek itu, semuanya mulai berlari menuju ke arah sumber suara tanpa ada yang tahu sebenarnya di mana suara itu berasal, tapi yang jelas mereka tahu betuk kalau arah suara itu adalah dari Selatan.
***
Di sisi lain Ecca dan Harrinanie yang sedang berdiri berdampingan sambil sedikit tertawa kecil, memandangi arah datangnya para WPS yang mendengar suara peluitnya tadi yang ia rasa masih cukup jauh. Mereka berencana untuk megungkapkan rencana dari senior kelas dua di depan semua anggota WPS, seperti di film Detective Conan yang sangat mereka gemari itu, mengumpulakan semua orang lalu di depan mereka mengungkapkan kebenaran. Mereka masih tertawa namun sesaat kemudian mereka berusaha menghentikan tawanya, namun masih tetap mereka tertawa meski terlihat ditahan. “Nan, Nanie. Gue boleh tanya sesuatu nggak?” Ecca masih dengan sedikit tertawa. “Tanya aja, emang kenapa?” Harrinanie yang sibuk memandangi arah datang teman-temannya. “Emh...ada yang loe sadari nggak?” Tanya Ecca. “Sadar apa?” Nanie menatap Ecca aneh. “Iya, kan loe biasanya menyadari sesuatu yang nggak pernah orang lain sadari. Yah, gue sih Cuma tanya aja. Mungkin ada yang loe sadari sekarang?” Ecca membuat Harrinanie mejelajahi pikirannya mengingat hal-hal yang mungkin terlupakan. “Astaga, iya aku inget sesuatu.” Harrinanie sedikit tegang. “Tu kan gue bener. Ya udah loe nyadari soal apa?” Ecca penasaran mengenai yang di pikirkan oleh Nanie. “Gini, Dari pertama, loe inget nggak para WPS 07 yang tidak menjadi pendamping dari angkatan kita dijadikan dua kelompok yang semua anggotanya adalah angkatan 07. Jadi mungkin memang sudah mereka rencanakan begitu agar mempermudah rencana-rencana mereka. Dan mereka sebenarnya tidak mencari Kak Ully mereka hanya menjadikan itu sebagai jalan untuk memperlancar rencana mereka. Di saat semua sibuk mencari Kak Ully, mereka menjalankan tugas mereka masing-masing. Dan yang kedua saat Kak Deady dan Kak Tarno membagi kelompok kita menjadi dua kelompok. Kemungkinan besar mereka melakukan itu untuk mengistirahatnkan atau menyudahi rencana mereka untuk satu kelompok dan menjalankan rencana lain untuk kelompok satunya. Yang nggak lain dan nggak bukan kelompok yang disudahi adalah kelompok Anita dan lain-lainnya dan pastinya mereka sekarang sudah bergabung dengan kakak-kakak kita dan mengetahui rencana-rencana mereka. Dan kelompok yang diberikan rencana selanjutnya adalah kelompok kita. Trus apa lagi ya?” Harrinanie berpikir sejenak. “Aha, dan loe tau nggak kalau sebenernya kakak-kakak kita pasti sudah tahu sebelum belumnya kalau di tempat ini memang bisa didapati sinyal, dan paling tidak itu membantu komunikasi mereka saat menjalankan rencana mereka. Jadi bisa gue simpulin kalau rencana kakak-kakak kita ini bener-bener prefect.” Harrinanie menjelaskan apa yang ada dalam benaknya, dan Ecca hanya bisa terdiam kagum terhadap Nanie yang pemikirannya persis seperti detektive yang sudah professional. “Dan satu lagi, kalau para senior kita mudah berkomunikasi sekarang, jadi berita hilangnya kita dari rombongan kemungkinan besar sudah sampai di telinga para senior yang lainnya. Dan mungkin bagian dari mereka tengah mendapat tugas untuk mencari kita. Atau yang lebih buruk mungkin mereka sudah menemukan kita sekarang...” Nanie sedikit cemas dipandangnya Ecca serius begitu pula sebaliknya. Lalu terdengar suara sesuatu bergerak dari balik semak-semak di samping mereka. Dan secepat kilat Ecca dan Nanie mengalihkan pandangannya ke arah semak itu.
***
“Aaaa...!” Arofah dan rombongannya mendengar teriakan dari arah yang sama dengan arah datangnya suara peluit tadi. Dan hal itu membuat Arofah merasa khawatir pada keberadaan Ecca dan Harrinanie. Semuanya juga merasa sedikit tegang mereka mempercepat lari mereka, ingin secepatnya mengetahui apa yang sebenarnya ada dibalik suara-suara itu. Di tengah jalan mereka bertemu rombongan yang lain yaitu rombongan yang dibawa oleh Tarno dan juga rombongan lainnya. Mereka saling bertanya mengenai yang sedang terjadi dibalik semua suara-suara itu. Namun tidak ada yang mengetahuinya. Kemudian mereka berlari lagi menjadi satu kelompok besar namun tidak ditemui kelompok kelas dua yang bergabung dengan mereka, satu satunya kelas dua yang ada adalah pendamping perjalanan para WPS 08. Mereka terus berlari.
***
Dan akhirnya mereka berhenti di lereng suatu tempat yang tampak seperti bukit. Tidak ada yang Bicara satu pun, lalu mereka pun berjalan pelan dataran yang terlihat lebih tinggi dari pada yang lain itu dengan perlahan. Mereka semua yakin kalau suara-suara itu memang berasal dari atas bukit itu. Arofah merasa dirinya sedikit gugup, karena dia telah kehilangan kontak dengan Harrinanie dan Ecca yang kemungkinan besar mereka telah berada di tempat dia dan para WPS lainnya berada sekarang beberapa menit yang lalu. Arofah mencoba mengkontak Harrinanie tanpa sepengetahuan kakak seniornya yang ada di sana, namun tidak ada jawaban dari pihak Ecca dan Nanie, dan itu membuat rasa khawatirnya bertambah. Apalagi setelah ia mendengar teriakan yang sepertinya juga berasal dari tempatnya berada sekarang ini, walau sebenarnya ia tidak menginginkannya tapi ia yakin telah terjadi sesuatu pada Ecca dan Nanie dan bisa saja itu adalah hal buruk, dan sebenarnya itulah yang paling ditakutkan Arofah sekarang. Tarno menangkap ada yang aneh dari gelagat Arofah, ia mendekati adik juniornya itu lalu menanyainya, “Kenapa, Dek? Ada yang membuat kamu nggak nyaman?”. Arofah sedikit kebingungan, rasa-rasanya ia sudah tidak dapat lagi membendung rasa takut dan khawatirnya sendirian. Dan ia pun memutuskan untuk memberitahukan yang sebenarnya pada Tarno, “Anu...Anu...Kak sebenernya yang niup peluit tadi itu Nanie, dan waktu itu ia juga bersama Ecca.” Aku Arofah. “Apa? Yah, mereka memang terpisah dari rombonganku tadi tapi kenapa mereka melakukan itu?” Tarno sedikit curiga. “Katanya, dia mau mencari kebenaran.” Arofah merasa sedikit takut pada tanggapan kakaknya. “Kebenaran? Apa maksudnya? Dan, hey dari mana kau bisa tahu kalau yang dibalik suara-suara tadi adalah Ecca dan Nanie. Arofah masih gugup, lalu perlahan ia mengeluarkan hand phonenya. “Apa? Jadi kau bawa hand phone? Dan Nanie juga?” Tanya Tarno. Arofah mengangguk pelan. Dari arah belakang Wahid berjalan mendekati Arofah dan Tarno. “Tar, lihat ini!” Wahid seraya menunjukan suatu benda yang tak lain adalah hand phone dengan gantungan berupa cincin berwarna putih keperakan. Arofah terkejut ia mengenal hand phone yang dibawa Tarno itu, “Nanie, yah hand phone itu milik, Nanie!” Arofah melototi hand phone itu. Wahid memperhatikan Arofah, ia menemukan hand phone juga dalam genggaman tangannya. “Fah, kamu bawa hand phone?” Wahid terkejut. Arofah megangguk, “Iya, Kak! Maafkan saya.” Arofah merasa bersalah. “Jadi adakah yang mau menceritakan kepadaku yang terjadi di sini?” Wahid yang memuncak rasa ingin tahunya. “Gue, ayo kita bicara sebentar, Hid!” ajak Tarno seraya berjalan menjauh dari Arofah, dan mendekati beberapa senior dan melibatkan diri mereka dalam suatu diskusi. Arofah bergabung dengan rekannya yang lain, merasa tegang menanti apa yang akan direncanakan para seniornya.
“Baik adik adikku semua,” Wahid mewakili para senior mencuri perhatian para angkatan 08. semua angkatan 08 menjadikan diri mereka setenang mungkin, begitu serius memperhatikan yang dikatakan oleh seniornya. “Begini, di sini ada suatu kesalahan besar yang mungkin salah satu dari kalian dapat menjelaskan ini.” Lanjutnya, dan tiba-tiba jantung Arofah merasa begitu berdebar, dia seakan tahu kalau yang dimaksud oleh seniornya itu adalah dia. “Tapi di sini aku tidak akan meminta seseorang itu untuk menjelasakannya sekarang. Tapi, kami hanya membutuhkan tanggung jawab tidak hanya dari seseorang itu tapi dari kalian semua yang ada di sini.” Wahid menatapi semua adiknya, kemudian menarik nafas panjang. “Oke, sekarang kalian boleh turun!” Lanjut Wahid. Para 08 hanya menurut, meski mereka tidak tahu sebenarnya apa yang dilakukan oleh salah satu dari mereka atau bahkan mungkin mereka semua, sehingga membuat mereka menjadi melakukan suatu kesalahan, dan akibatnya mereka harus turun dan mengambil posisi push up seperti itu. Para senior semuanya berjalan menuju ke belakang para WPS 08, sehingga mereka semua bisa melihat adik-adiknya yang sedang turun dari arah belakang. Sedang para WPS 08 tetap tenang menunggu instruksi berikutnya, menghadap lurus ke depan dengan serius. “Satu!” hitungan Wahid dimulai. “Dua!” lanjutnya, dan anak-anak hanya bisa pasrah melakukan yang diinginkan para seniornya itu mau tidak mau, tapi kebanyakan dari mereka rela-rela saja mendapat hukuman meski tidak tahu kesalahannya. “Tiga!” Wahid melanjutkan. Arofah terlihat paling lelah diantara yang lainnya. Mungkin lelah fisik yang dia alami sama saja dengan yang lainnya, tapi lelah batin yang ia rasakan sekarang sungguh membuat ia tak kuasa untuk menahan rasa bersalahnya, dan itu tentu akan berpengaruh besar terhadap tubuhnya. Seketika suasana di sana menjadi senyap. Para angkatan 08 menunggu hitungan berikutnya. Lengan mereka merasa sedikit kram dan kaku karena lama menahan posisinya, apa lagi ada gangguan yang sangat tidak menyenangkan dari nyamuk-nyamuk liar yang terbang berputar putar mengelilingi tubuh mereka, dan tidak sungkan untuk mencicipi darah mereka. “Aduh lama banget sih Kak Wahid. Gue udah nggak tahan nih!” keluh Astuti begitu pula Yenny yang berada di sebelahnya. “Lama banget!” keluh Nofiq yang merasa seniornya itu sudah keterlaluan dengan tidak segera melanjutkan hitungannya. Tanpa perduli apa pun, Nofiq berdiri dan memandangi ke belakang, dan seketika itu ia tersadar kalau para seniornya itu sudah tidak ada di tempat mereka beberapa saat yang lalu. “Fiq, turun lagi loe. Jangan ngebikin para senior jadi tambah kesel ama kita!” pinta Pendi yang juga terlihat memaksakan dirinya untuk menahan posisinya. “Bagun loe, Pen!” Nofiq seraya menarik tubuh Pendi dari posisi push upnya. Pendi juga sama kagetnya degan Nofiq mengetahui para seniornya telah lenyap dari tempatnya. “Sial! Kemana mereka semua!” Pendi kesal. Beberapa anak juga akhirnya bangun dari posisi push upnya. “Apa yang terjadi?” Suriyah yang baru saja bangun dari posisi push upnya. “Senior hilang.” Nofiq pelan, dan setelah mendegar perkataan Nofiq tadi, semua WPS angkatan 08 akhirnya bangun berdiri dari posisinya semula. Dan Arofah terlihat paling terakhir bangun, dengan bantuan beberapa teman ceweknya ia berhasil menegakkan tubuhnya. “Sekarang. Apa yang akan kita lakukan?” Nofiq memandangi rekan-rekannya. “Kita cari para kakak senior!” celetuk Wibbi yang terlihat paling santai dari yang lainnya. “Nggak, gue nggak setuju. Malam ini gelap banget apalagi kita nggak tahu jalan sama sekali di hutan ini. Kemungkinan besar kalau kita berusaha mencari senior, hasil nihil lah yang akan kita dapatkan.” Pendapat Abdur. “Iya gue setuju sama Abdur. Kita nggak tahu bahaya apa yang ada di luar sana, mungkin itu akan lebih berbahaya bagi kita dari pada kita tinggal di sini. mungkin saja kita terpisah dalam pencarian, terluka, atau hilang, dan mungkin bisa jadi lebih buruk lagi.” Chandra angkat bicara. “Benar. Lebih baik untuk malam ini kita bermalam saja di tempat ini, dan bila kita ingin mencari para senior dan yang lainnya kita dapat melakukannya esok hari, itu akan lebih mudah bagi kita dari pada harus mencarinya malam-malam begini.” Usul Yenny dan tampaknya semua setuju. Dan begitulah mereka akhirnya bermalam di sebuah tempat yang berumput basah, hanya beralaskan baju-baju mereka dan juga mungkin jaket mereka bagi yang mengenakannya tadi, dengan api unggun kecil yang mereka buat sebelum mereka memutuskan untuk tidur. Semuanya tampak berusaha memejamkan matanya, membayangkan diri mereka sedang di dalam tenda hangat atau mungkin di kamar-kamar mereka yang telah beberapa hari mereka tidak jumpai. Beberapa anak sudah tampak terlelap karena sangat kelelahan, tidak memperdulikan keadaan sekitar yang lembab dan gelap. Arofah terlihat yang paling tidak bisa tidur. Ia masih mengutak atik hand phonenya berusaha mengkontak Harrinanie kembali, meski ia tahu kalau usahanya akan menjadi sia-sia, karena hand phone Nanie tidak berada di tangan pemilikya sekarang. Dan itu membuatnya sangat sakit hati. Terlintas di benaknya untuk menghubungi keluarga entah itu ibunya atau yang lainnya, namun akhirnya ia urungkan niatnya karena ia tidak ingin orang rumah tahu apa yang sedang menimpanya, dan rekan-rekan seangkatannya. Ia berharap orang tua dan saudara saudaranya tidak terlalu mengkhawatirkannya. “Fah, tidur loe!” perintah Suriyah dengan matanya yang telah tertutup tidur di samping Arofah. Arofah membalik badannya, sehingga ia menemui badannya berhadapan muka dengan Suriyah. “Sur, gue ngrasa bersalah banget.” Arofah menyampaikan isi hatinya. “Loe nggak usah ngrasa kaya’ gitu. Nggak ada yang salah atau bener kok di sini. Kita sama aja. Loe nggak usah mikirin yang aneh-aneh, mikirin hal yang positif aja. Percaya deh semua bakalan berakhir bahagia. Kaya’ didongeng-dongeng itu. Happy ever after...!” Suriyah dengan senyuman hangat di bibirnya. Dan paling tidak itu membantu Arofah sedikit tenang.

***

Pagi yang begitu cerah dengan pekik kicauan burung-burung yang menyambutnya. Angin pagi yang begitu segar dan mentari yang menyembul di horizon sebelah timur terlihat begitu tenang dengan cahaya cahayanya yang menerobos di antara pepohonan hutan. Tanah padang yang tidak terlalu luas terlihat basah dengan embun yang berada di pucuk dedaunan dan rerumputan. Api unggun yang hanya tersisa arang dan kayu yang terbakar tanpa ada api yang menyala berada kurang lebih tengah-tengah tanah itu. Terlihatlah beberapa anak dengan tubuh lemas mereka tertidur dibahasahi embun dari rerumputan dan juga rambut dan pakaian mereka yang tampak begitu basah. Di samping anak-anak itu berdirilah masing-masing satu orang dengan membawa sesuatu yang terbungkus daun jati, dan pakaian serta wajah mereka yang terlihat begitu bersih amat jauh berbeda dengan anak-anak yang sedang tertidur tadi. “Nan, loe bangunin gih temen-temen loe!” suara lembut yang sepertinya datang dari seorang anak perempuan. Seorang gadis hitam manis berjilbab mulai mendekati salah satu anak yang telah tergeletak tertidur di tanah. “Fah, bangun, Fah!” kata anak perempuan itu yang ternyata adalah Harrinanie, membangunkan Arofah. Arofah mulai membuka matanya, dilihatnya sosok yang ada di depannya. Ia merasa sedikit pusing dan kedinginan, namun seseorang yang ada di depannya tadi langsung memberinya jaket dan menarik tubuhnya untuk bangun. Dan di sisi lain para orang-orang yang berdiri tadi juga membangunkan anak-anak yang sedang tertidur tadi. Arofah mulai tersadar, dan begitu dia dapat melihat jelas sosok yang ada di depannya itu dengan jelas, ia langsung berteriak, dan memeluknya, “Nanie, Nanie! Loe ngebuat gue khawatir banget! Loe kemana aja sih?” Arofah tersedu. Harrinanie juga ikut menangis. Tanpa menjawab Arofah, Harrinanie melepaskan pelukan Arofah, membiarkan temannya itu melihat keadaan sekitar. Arofah kini bisa memandangi teman temannya yang baru tersadar dari tidurnya. Juga dalam pandangannya ia dapat menemui para kelas dua yang menampakan senyuman mereka. dan ia merasa terkejut pula setelah melihat para senior kelas tiga yang berdiri tidak jauh dari mereka juga tampak tersenyum bahagia, meski wajah dan tubuh mereka terlihat biru lebam. Setelah melihat semuanya telah bangun dan berdiri para kelas dua memberikan bugkusan daun jati yang mereka bawa tadi pada adik adiknya. Para angkatan 08 pun menerimanya dengan senang hati. Dibukanya bungkusan itu, dan para angkatan 07 pun tersenyum, disertai tertawa kecil. Setelah dibuka ternyata isiya adalah nasi putih dengan lauk tahu goreng dan sayur. Dipandangi para senior kelas dua yang masih tersenyum. “Udah Dek makan gih! Udah lamakan nggak makan nasi.” Kata Dyah menatapi adik adiknya, “Iya satu hari nggak makan nasikan rasanya setahun, iya nggak?” Nissa menimpali, dan para WPS 08 pun tersenyum. “Udah jangan dilihati aja. Cuma kali ini kesempatan kalian makan nasi. Besok udah makan mie rebus nggak mateng lagi loh!” Zaenal ikut nimbrung. Meski dengan masih mengenakan pakaian basah dan duduk di rerumputan yang lembab tapi mereka tetap menikmati sarapan mereka pagi itu. Ditemani para rekan-rekan mereka, dan senyuman kakak mereka dengan mentari pagi yang semakin indah cahayanya, menyinari dedaunan pepohonan dan membuatnya berkilauan. Mereka merasa sarapan mereka itu adalah sarapan yang akan selalu terkenang dalam benak angkatan ini. “Jadi inget dulu.” Georgina berbisik. “So...sweet. He...he...!” Ririana menimpali. “Kak Ully. Arofah terkejut melihat kakaknya itu berada diantara para senior. “Hey, Dek!” Ully tersenyum kepada adiknya itu.
***
“Hey sepertinya ada yang terlupakan.” Celetuk Wibbi, setelah para WPS menyelesaikan sarapannya dan berjalan kembali ke perkemahan mereka, untuk melakukan acara Reorganisasi sebenarnya dengan memilih para pengurus para WPS nantinya. “Coba tanya Nanie. Biasanya dia inget sama hal yang kita lupakan.” Ecca menatap Nanie, dan Nanie langsung menggeleng. “Nggak, Aku nggak ngrasa inget apa-apa.” Harrinanie merasa tidak ada sesuatu dalam pikirannya. Dan semuanya tampak berpikir. “Sholat Subuh. Hey apa kalian sudah Sholat Subuh?” Theresia yang beragama Nasrani mengingat sesuatu. “Wah, bener Dek kalian belum subuhan, ya udah nanti kita ke masjid dulu yah! Tapi ku sarankan kalian mandi dulu yah. Lihat wajah kalian lecek-lecek kaya’ gitu. Rumah penduduk nggak jauh kok dari sini kalian nanti numpang mandi di sana aja!” Zaenal menyarankan. Dan memang benar tidak lama kemudian mereka telah menemui pemukiman penduduk, dan ternyata penduduk sekitar sangat ramah sekali, mereka menyambut para anak-anak WPS itu dengan suka cita. Dan perjalanan pulang ke perkemahan mereka dengan penuh tawa, saling bercanda dengan menyalahkan yang membuat mereka melupakan sholat subuh mereka pagi itu. “Yah, dari pada tidak sama sekali, terlambat lebih baik. Kira-kira dosa nggak yah?” Anita sedikit khawatir. “Yah, Allah paling maklum, ya nggak?” Pendi menimpali. “Ah, ngawur loe, Pen!” Ayu seraya mendorong tubuh Pendi, hingga terjungkal. “Ha...ha...ha...!” dan tawa anak-anak pun pecah.
***
Reorganisasi itu berakhir dengan Ecca Prasetya Fajar Ramadan sebagai Ketua WPS angkatan 08 dan Wibbi Putra Pratama sebagai wakilnya. Sedang Harrinanie dan Verriawan sebagai sekertaris. Dan untuk bendahara dipegang oleh Yenni Oktaviani dan Abang Kidung. Para seksi seksinya, Seksi Humas adalah Bang Hananto, Bang Pendi, Arofah, dan Istiqomah yang meski ia tidak mengikuti Reorganisasi ini tapi tak dapat diragukan lagi kempuannya. Dan seksi perlengkapannya adalah Nofiq, Catur, Theresia, dan Suriyah.
Mereka, para WPS itu pulang meninggalkan Bumi Perkemahan dengan penuh Kegembiraan, dan menilaskan sebuah kenangan yang mendalam di sana yang tidak akan mungkin mudah mereka lupakan. Dan angkatan 08 sudah punya sepasang orang tua WPS sekarang, yaitu Harrinanie sebagai Ibu WPS angkatan 08, dan hal yang membuat Harrinanie merasa sangat bahagia adalah ketika rekan-rekan seangkatannya untuk pertama kalinya memanggilnya dengan “Ibu...” bukan dengan Harrianie lagi. Dan Ecca sebagai Bapak WPS 08, yang memang meski orangnya kadang cengengesan sama seperti Nanie, tapi sifat kebapakannya memang yang paling menonjol diantara para WPS cowok. Meski mereka menjadi orang tua dari angkatan mereka, tapi Ecca dan Harrinanie tidak berarti menjadi sepasang suami istri loh. Mereka tetap menjaga hubungan mereka sebagai seorang sahabat, tidak lebih. Untuk Ecca ia terlihat lebih dekat dengan Fithri setelah Reorganisasi itu, diperkuat dengan mereka yang berfoto berdampingan disaat mereka mengunjungi air terjun dihari yang ke tiga, begitu pula dengan Arofah dan Nofiq ternyata mereka telah jadian, dan juga terlihat berpose bersama dalam beberapa fotonya. Sedang untuk Nanie dekat dengan Parikesit kakak seniornya kelas tiga, namun sebenarnya di hati Nanie hanya menganggap Parikesit sebagai kakak senior, dan ia berharap Parikesit juga berpikiran yang sama untuk menganggapnya hanya sekedar menjadi adik juniornya. Lagi pula masih ada yang menantinya di jauh sana, dan ia merasa hatinya hanya terpaut hanya dengan seseorang itu. Dan hubungan persahabatan para WPS angkatan 08 ini memang akan menjadi sangat luar biasa.
Meski tidak selamanya, tapi aku berani mengatakan kalau Reorganisasi angkatan 08 ini ber-ending, seperti yang dikatakan Suriyah “Happy Ever After...”