Selamat pagi, pagi. Kadang aku bingung mengapa awal dari sebuah hari disebut pagi? kenapa tidak dengan nama yang lain? Yah itu bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban, karena tidak akan ada jawabannya, dan tidak akan ada orang yang terlalu santai untuk menjawabnya. Emhmm... yah, di sinilah aku masih enggan meninggalkan ranjang hangatku, pergi menjejak lantai keramik dingin di bawah sana. Namun cepat atau lambat aku harus melakukannya. Demi hidupku, khususnya otakku, karena mungkin sebentar lagi wanita yang ku sebut ibu, yang sejak tadi telah sibuk dengan pisau dan kompornya itu akan menggedor pintu kamarku dan menyuruhku bersiap untuk pergi ke tempat yang bernama sekolah. Yah, mengingat otakku... apa kabar dia pagi ini. Apakah dia masih bisa digunakan pagi ini? Semalaman ia telah bekerja keras membatuku menyelesaikan segala tugas dari organisasi. Segala urusan proposal dan semua surat permohonan yang harus di serahkan pagi ini juga.
Badan yang lemas dan tulang-tulang yang masih kaku ini mengiringi langkahkku menyusuri sepanjang lantai ke kamar mandi. Ku lirik kalender yang telah mulai memasuku bulan Februari, 1 Februari 2009, Wow bulan kasih sayang pikirku. Adakah yang akan menghadiahiku coklat? pikiran koyol itu terbesit sesaat. Sedang wanita yang di sana itu hampir selesai dengan kesibukannya tadi. “Selamat pagi, Sayang!!” Kata pertama yang ku dapat hari ini. Ia begitu mengagumkan bagiku, tak ada yang dapat menggantikan sosoknya yang seperti itu. Oh, dialah yang sangat berarti...
Berjalan sendiri. Seperti biasa. Menunggu bus di halte bercat biru, dengan berbagai bentuk pribadi yang entah kemana tujuannya nanti. Mentari meninggi dan sesaat tertutup bayangan besar yang tepat berhenti di depanku. Bus umum yang penuh sesak itu, memperkenankan dirinya untuk ku naiki. Tak ada bedanya dengan pagi-pagi sebelumnya. Bus ramai dan penuh anak berpakaian putih dengan bawahan yang kebanyakan biru dan abu-abu. Menyatu dalam besi tua beroda itu. Kesesakan itu tak pernah mengurungkan niat aku atau siapa pun yang di dalamnya sekarang untuk menghabiskan perjalanan dengan mobil besar itu.
Oh, keram... yah, selalu itu yang dirasakan kakiku setiap pagi. Berdiri sepanjang perjalanan memang tidak menyenangkan. “Mau, duduk!!” tawar seorang anak lelaki, mugkin seumuran denganku. Dan aku segera mungkin bertukar posisi dengannya. Oh, astaga dia sepertinya ku kenal batinku ketika mataku menagkap sekilas sosoknya. Lama ku perhatikan pria baik hati itu. Dan ternyata memang benar aku sudah pernah bertemu dengannya, “Valen!!” yah itu namanya, aku mengucap namanya dengan sedikit terkejut. Anak lelaki tadi hanya diam, dengan senyum yang mulai merekah dari bibirnya, menatapku. Jujur tatapannya begitu membuatku sangat merasa...apa yah namanya? Sangat merasa bahagia mungkin...yah, mungkin memang bahagia atau juga ada perasaan lain yang tidak dapat aku ungkapkan dengan rasa apa pun. Tak ada yang lebih manis dari pada senyumnya pikirku. Apalagi dengan dua gingsulnya dan pipinya yang senantiasa berlubang, itulah yang membuat wajahnya memiliki aksen unik di mataku. Dan wajah itu tak akan mudah tergantikan begitu saja. Apalagi dengan kenangan indah yang ada di balik persahabatan kami beberapa tahun yang lalu. Yah, dia memang sahabatku dulu. Ketika awal SMP tepatnya. “Hai, Dewa!” sapanya dengan lembut. Aku hanya terdiam tak percaya, kalau itu benar-benar dia. Kabar terakhir ia pergi keluar kota, ke Jakarta menurut yang ku dengar. Ia berniat melanjutkan sekolahnya di sana, karena ayahnya yang akan pindah ke sana untuk urusan bisnis. Dua tahun yang lalu aku terakhir kali bersamanya, dan sekarang ia berdiri di hadapanku dengan wajah dan tampilan yang begitu luar biasa, tak ku duga. Ia tampak lebih manis dari pada yang ku kenal dahulu. Dulu mungkin hanya aku yang dapat melihat betapa manisnya dia, tapi sekarang mungkin semua orang sudah akan sependapat dengan diriku dulu. Dan sekarang aku merasa aneh juga menemukan teman kecilku dalam tubuh seorang yang memang dirinya, namun nampak begitu berbeda dengan dua tahun yang lalu. “Kau memotong rambutmu?” Tanyanya, dengan pertanyaan yang sedikit aneh di telingaku. Rambutku memang menjadi lebih pendek sekarang, sangat pendek malahan karena aku memotongnya dengan gaya segi harajuku dan nampak seperti anak tomboy, meski sebenarnya aku tidak terlalu tomboy. Dengan rambut baruku ini ku pikir tidak ada yang akan terlihat lain dariku, yah setidaknya itu yang ku pikirkan. Aku tidak tahu untuk dirinya mungkin itu menjadi sesuatu yang lain untuknya.“I...i...ya...memang kenapa?” aku sedikit canggung juga, apa lagi dengan tatapan beberapa penumpang bus lainnya yang sejak tadi melirik-lirik ke arah kami berdua. “Kau, terlihat begitu berbeda.” Katanya dengan tenang. “Kau lebih cantik sekarang.” Tambahnya, aku sedikit malu juga saat dia bilang seperti itu. Aku tak percaya ia mengatakannya. Ia belum pernah mengatakan hal seperti itu sebelumnya. Bahkan selama satu tahun aku bersahabat karib dengannya tidak pernah sekalipun dia membuat suatu atmosfir berbau kata-kata manis seperti itu. Dia jauh lebih pendiam dahulu. Meski begitu, kata yang terucap darinya itu sedikit banyak membuat jantungku menjadi sedikit tak tenang, dan aku tak tahu apa yang menyebabkannya. Tapi setiap ucapan dari bibirnya memiliki sebuah makna bagi diriku.
Ia diam sambil menatap ke luar jendela. Matanya nampak berkilat dibalik kacamatanya yang memang sejak dulu ia juga sudah mengenakannya. Wajahnya terlihat merona di bawah cahaya matahari pagi itu. Aku begitu takjub namun segera mungkin aku kendalikan dan sembunyikan rasa itu. Aku tak ingin membuatnya risih dengan aku yang menatapnya dengan aneh. Tak ada pembicaraan lagi antara kami. Kami berdua saling terdiam. Aku tak berani untuk memulai pembicaraan. Hanya kadang kala mata kami bertemu dan sepertinya ada percakapan khusus antara keduanya yang tentu saja tidak akan mungkin dapat diterjemahkan oleh pikiranku tapi hatiku dapat merasakannya sebagai sebuah sesuatu.
Endra cowok bertubuh tegap itu telah berdiri tegak di gerbang sekolah, sambil menatapi sosokku yang mulai berjalan mendekat akan memasuki gerbang. “Pagi, Sayang!” sapanya, tidak membuat diriku begitu berbunga. Cowok itu mendekatiku. Berdiri tegap di hadapanku. Aku hanya diam saja mencoba mengalihkan pandanganku darinya. Aku memang telah menjadi kekasihnya sejak dua bulan yang lalu, namun aku merasa rasa cintaku tak sebesar saat aku pertama kali menjadi kekasihnya. Atau mungkin saat itu bukan cinta yang ku rasakan tapi lebih pada perasaan berbangga karena ada juga yang melepaskan predikat sendirinya pada sosok seperti aku, “Pagi!” Kataku pelan, ketika wajahnya berada benar-benar dekat dengan wajahku yang ku palingkan. Sedikit demi sedikit ia mulai mendekatkan wajahnya lagi. Sepertinya aku tahu apa yang akan ia lakukan. Dan itu membuat kau semakin gugup, apalagi dengan teman-teman se-ganknya yang terus saja mengomporinya dari belakang. Dan, “Krrriiiiiinnngggg!!!” bel sekolah berbunyi. Aku dan Endra kontan terkejut. Endra mulai menjauhkan wajahnya dariku. Dan terbesit sebuah kelegaan dalam diriku. Dan kesempatan itu tak ku biarkan saja. Sebelum Endra memulai lagi, aku segera beranjak dari tempatku dan mengucap sampai jumpa kepadanya dan juga untuk teman-teman se-ganknya.
Dalam kelas tak satu pun yang membuat aku begitu merasa tertarik. Masih sama seperti biasanya. Guru yang menerangkan dengan anak-anak yang berusaha memperhatikan, tapi tetap saja ada hasrat untuk mengabaikan gurunya. Begitu juga dengan aku. Walau sesungguhnya Fisika adalah pelajaran kesenanganku namun sekarang aku lebih senang dengan lamunanku. Yang terus saja menjurus dan menerbangkan diriku ke arah bayangan seseorang yang aku temui pagi itu. Valen. Ia terus membuat aku memikirkan hal-hal indah tentang dia. Benar-benar gila kalau aku bilang. Sesungguhnya ada suatu perasaan ingin jumpa lagi dalam hati kecil ini. Yang mungkin akan berakar lebih jauh lagi menemukan perasaan yang disebut sayang atau mungkin akan lebih dari sekedar sayangnya seorang sahabat.
Pulang sekolah. Waktu berlalu dengan cepat ketika aku menikmatinya. Meski hanya dengan lamunan aku mewarnainya namun itu lebih membuat diriku senang dari pada harus melakukan hal lainnya. Namun sayang siangnya tak akan ku rasakan lebih cepat dari pada paginya. Endra sosok yang kini berstatus sebagai kekasihku itu telah bersiap mengajakku untuk memberi warna pada harinya. Dan untukku hanya kan mendapatkan suatu kepudaran dari warna yang ku dapat pagi itu. “Hai, Dewa Sayang!” kata seperti itu terus saja terlontar dari bibirnya setiap kami berjumpa. Dan sejujurnya sejalan dengan waktu yang terus meroda, aku benar-benar muak dengan kata-katanya. Walau hal itu memang sudah menjadi kewajaran di kalangan para anak sepertiga usia. Tapi aku sungguh tak menyukainya. Itu terdengar sedikit vulgar untukku, terlebih dengan dia, Endra yang mengucapkannya. Yang sudah jauh lebih sering merasakan yang namanya merajut cinta dari pada aku. Itu akan sangat terdengar seperti sebuah rayuan gombal. Dan aku tipe yang tidak suka dengan sebuah kata-kata manis yang berujung maksud. Seperti udang di balik batu dari peribahasa yang sering ku dengar.
“Hai”, seruku malas tapi dengan tetap memberi sentuhan ramah agar aku tidak membuatnya sakit hati. “Dan sekarang Sayang...bagaimana kalau kita pergi berdua. Kau mau kemana? Gimana kalau belanja ke Solo Grand mall, trus nonton, makan? Atau terserah kamu lah selanjutnya. Yang penting kita jalan berdua saja hari ini.” Tawar Endra dengan antusiasnya, dengan mencari kesempatan untuk merangkul pundakku dari belakang. “Aku malas ke mana-mana!” jawabku jujur sudah tidak tahan dengan sikapnya. “Loh! Kamu kenapa sih, Say?” Tanya Endra melihat tingkahku yang mencoba tidak terlalu dekat dengannya. “Ayolah Dewa Sayang! Aku pengen banget kamu temenin hari ini. Ya, udah deh, kemana aja. Terserah kamu. Yang penting aku bisa sama kamu.” Endra tak putus asa, seakan memaksaku terus untuk berkata Ya. Dan akhirnya itulah kata yang aku nyatakan. Aku tak bisa menolaknya kalau ia sudah mulai begitu. Aku takut bila ia melakukan hal gila yang mungkin terjadi untuk sekedar membuat hidupku mejadi tersandung kesusahan. Dari pada itu benar-benar terjadi, lebih baik mengucapkan sebuah kata yang sebenarnya tidak tulus tercurah dari hatiku.
Sepanjang jalan di sekitar Stadion Manahan. Menjadi tempat terhormat untuk Endra dan terpaksa ku katakan bersamaku siang itu untuk melepaskan segala hasrat muda Endra. Sebenarnya aku ingin tetap di sekolahan saja. Namun aku tak mau membuat SMK-ku sebagai tempat Endra untuk menghujamkan segala jurus rayuannya, itu akan membuat aku merasa bersalah sekali. Sesungguhnya aku sangat menghormati dan mengagumi SMK-ku itu, SMKN 2 Surakarta, sekolah tercintaku. Dan setitik pun aku tak ingin menodai setiap sisinya.
Dan Stadion Manahanlah yang kurasa lebih tepat utuk dijadikan tempat aku dan Endra menyelesaikan siang itu. Dengan masih mengenakan putih abu-abu yang terbalut jeamper merahku, aku menjadi tempat sampah segala ucapan, segala keluahan, dan segala rayauan dari Endra. Dan itu akan menjadi sangat menjenuhkan, jika saja aku tidak terlalu mengabaikan apa yang terdapat dalam nada suara laki-laki itu. Aku lebih tertarik dengan pemandangan di sana yang kebanyakan hanya batangan pohon cemara namun itu sungguh membuat aku nyaman dari pada untuk memberi respon segala yang diucap Endra. Sekilas aku tercekat. Bayangan indah terlintas sejenak di retina mataku. Valen serasa terlintas sekilat di hadapanku. Aku sungguh merasa ada dirinya ada sejajar denganku sedetik yang lalu. Ku perluas arah pandangku. Dan arah belakanglah yang menjadi tujuan utamaku. Dan benar saja ku temukan sosok manis itu sekarang. Sedang berdiri di hadapan sebuah gerobak es sendiri, dengan jaket yang senada warnanya dengan jeamperku. Ia mengarahkan pandangannya padaku. sepertinya ia juga menangkap aku dalam bola matanya ketika kami berpapasan tadi. Endra yang merasa kehilangan perhatianku mulai tersadar, dan mulai membangunkan aku dari lamunan, “Sayang, Dewa! Kamu kanapa?” tanyanya seraya mencari titik pandang yang kulihat sekarang. Namun ia tidak terlalu jeli untuk menemukan Valen. Aku segera mengambil alih suasana, “Eh...E...Enggak! udah ayo jalan lagi! Sampai di mana tadi...” kataku asal, namun itu tampak membuat Endra merasa spicles, apalagi dengan senyumanku yang mulai merekah lebar yang sebenarnya tidak dikarenakan dirinya melainkan sosok indah yang terlintas beberapa detik lalu. Tapi ya...sudahlah terserah apa yang ia rasakan sekarang, aku tidak perduli. Aku sudah merasa senang dengan.....
***
Hari ini sehari setelah pertemuanku dengan Valen. Aku ingin menemukan dirinya sekarang, di bus ini lagi. Namun kenyataan berkeinginan lain. Aku tak menemukan senyum indah Valen, tidak di dalam bus, tidak di jalanan, bahkan dalam pikiranku senyumnya telah nampak memudar dengan kekecewaan. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa menginginkan dirinya di hadapanku sekarang. Dan itu ku namakan sebagai kerinduan yang amat sangat mendalam. Dan jika rindu itu telah benar-benar memilukan hasratku, aku semakin yakin kalau aku sayang teramat sayang kepada lelaki manis sahabat lamaku itu. Hari berlalu seperti biasanya, datar. Tak ada warna, tak ada serpihan gemerlap. Bahkan Endra terlihat tidak terlalau terobsesi untuk mendekati diriku hari ini. Sepi itu yang kurasakan sepanjang pagi. Dan itu selebihnya berpengaruh pada konsentrasiku di kelas. Aku lebih memperhatikan pelajaran dari pada hari sebelumnya. Dan guru Fisikaku Bu Srimastuti, seakan menemukan murid terdahulunya kembali. Yang begitu sangat antusias pada hujanan rumus-rumus dan ilmu eshaknya. Siang berlalu begitu lama. Waktu ku coba habiskan untuk berdiam dan membaca di perpustakaan sekolah. Beberapa buku yang tidak terlalu tebal ku tamatkan. Di tambah beberapa judul komik, juga majalah yang hanya ku bolak-balik mencoba menyegarkan mataku dari tulisan-tulisan yang diterima mataku sebelumnya. Tak puas dengan perpustakaan aku beranjak ke Gramedia untuk menemui beberapa judul buku. Ditemani beberapa teman seorganisasi aku menyusuri jalan menuju rumah buku itu dengan jalan kaki. Memang jarak Sekolahku tidak terlampau jauh dengan Gramedia, dan itu menjadi hal yang tidak di sia-siakan oleh para murid penggila buku.
Sampai di tujuan, seperti hariku tempat itu terlihat legam-legam saja. Hanya ada segelintir orang yang mengijak keramik rumah buku itu. Segera aku berkeliling berpisah dengan teman seperjalanku untuk mencoba menemukan yang akan menarik mataku. Ku tuju rak buku yang berjudul Sastra. Aku sekarang sedang ingin menerapi jiwaku dengan segala puisi-puisi yang terkumpul dalam buku karangan Chairil Anwar, atau tokoh sejalan lainnya. Ku temukan buku yang kurasa menarik. Namun bukan buku karangan orang yang sering ku dengar namanya di bidang itu. Buku itu hanya bertuliskan ‘Kumpulan Puisi Cinta Anak Peralihan’. Aku sedikit janggal menemukan kata peralihan dalam judul buku itu, namun aku akhirnya paham kalau yang dimaksud peralihan itu adalah kaum remaja.
Ku lepaskan buku itu dari raknya dan ku geletakkan di atas meja baca kayu yang tampak budar di sisi lain dari ruang itu. Larik demi larik, bait demi bait dan akhirnya lembar demi lembar ku coba pahami puisi-puisi di dalamnya. Kalimat menggetarkan aku temukan dalam bait dari salah satu puisi di sana, “...Biar sedikitnya aku sakit, teruji janji dari setiap bait, yang menjadikan kita saling terkait, meski tangah terpisah, dan hati resah, aku akan tetap pasrah menerima segala siksa, yang menjadikanku memiliki rasa, dan kaulah Dewa yang menjadikan aku menjadi dewa, yang akan terkait dalam setiap bait ini....” ku coba mencari nama pengarangnya namun tak kunjung ku temukan. Hanya ada tulisan yang terbaca 14 Februari 2009 di bawahnya. aku tidak mengerti dengan puisi itu jika tanggal yang tertera itu adalah tanggal penulisan puisi tidak seharusnya ditanggal itu, karena memang tanggal kasih sayang itu belum menaungi kaum manusia tahun ini. Dan aku merasa aneh dengan kata ‘Dewa’ pada baitan puisi itu. Dewa di disitu seperti menunjukan bukan seperti dewa yang tertulis setelah kata ‘Dewa’, namun lebih seperti sebuah nama karena penulisannya jelas-jelas menggunakan huruf besar, dan itu menghantarkan keyakinanku pada pemikiran seperti itu. Bukannya aku merasa, dengan adanya nama Dewa dalam puisi itu. Namun aku hanya merasa sedikit aneh, yah, sedikit aneh...
“Dewa!” panggil seseorang pelan. Dan tidak membutuhkan banyak waktu segera ku temukan sosok pemanggilku, “Valen!” Astaga yang kuharapkan sejak pagi, akhirnya ke temukan dalam sore yang jingga ini. Duduk di hadapanku dengan sebuah novel di depannya. Wajahnya tampak memerah di terpa cahaya orange sore yang menembus kaca ruang baca itu. Mengapa wajahnya terlihat bersenyawa dengan segala cahaya dari sang mentari, entah itu saat pagi dalam bis umum, siang di sepanjang jalan Manahan, dan sekarang aku menemukan eksotisnya di bawah terpaan mentari sore. Jantungku begitu tak mampu ditenangkan, dengan sekejap berdetak tak terkendalikan. Dan senyum manis yang ku rindukan akhirnya ku temukan sore ini.
Lampu-lampu jalanan mulai menyala menerangi jalan-jalan di sepanjang kota Solo. Beberapa tenda pedagang mulai berdiri tegak. Dan lagi-lagi jalan Adi Sucipto sekitar Manahan menjadi pemirsa setia perjalananku dengan seorang dari kaun adam. Tapi kali ini bukan kaum adam yang tidak ku harapkan, seperti sebelumnya. Tapi justru sebaliknya. Valen sosok yang mulai menebarkan aura hangat di samping kananku, membuat aku begitu nyaman dan terlupakan oleh angin-angin malam yang kiranya seperti hendak merayuku dengan hawa kebekuan. “Jadi kamu juga seorang PI?” tanyanya padaku. “Juga?” aku tidak mengerti dengan kalimatnya, atau dia memang juga seorang..., “Iya, aku juga PI!” aku Valen tetap dengan karismanya, tidak sedikit pun berniat berbangga. “Tapi, bagaimana bisa? Kamu kan baru...” aku segan melanjutkannya, aku sengaja agar dia memotong perkataanku dan memberi kejelasan. “Siapa bilang, aku baru kembali? Aku sudah berada di kota ini sejak tahun ajaran baru. Dan mendaftarkan diriku sebagai siswa SMK 5.” terang Valen dengan senyum yang berkembang sehingga tampak berlubanglah pipinya, dan sungguh itu pesona yang luar biasa. Memang aku sudah tahu kalau dia siswa SMK 5 atau dulunya STM 2, sejak pertama bertemu di bus kemarin dari seragam yang ia kenakan. Tapi astaga sungguh aku tak menyangka ia berada tidak jauh dariku selama lebih dari satu semester dan aku tidak mengetahuinya. Sungguh itu hal yang keterlaluan. Apalagi dengan hubungan kami yang menjadi seorang sahabat ketika kelas 7 SMP dulu. Oh, seandainya kau muncul lebih awal Valen mungkin aku tak akan semudah itu terpikat dengan cinta Endra. Itu menjadi yang sangat ku sesalkan. “Tapi, kenapa baru sekarang kamu muncul?” tanyaku mengungkapkan segala perasaan hati. “Sebenarnya aku tidak menyengaja untuk baru muncul sekarang, De!” ketika dia menyebut namaku dengan ‘De’ aku merasa ia memang sahabatku dulu. “Aku benar-benar kehilangan jejakmu saat aku sampai di kota ini. Apalagi saat SMP kita tidak pernah sekali pun membicarakan alamat rumah, dan kau tau aku sangat jaim sekali saat itu, bahkan untuk hanya sekedar mengetahui alamat rumahmu. Dan juga dengan dirimu yang begitu tampak berbeda. Yang jauh dari pada kamu yang dulu secara fisik, itu menjadi alasan kuat untuk aku tidak mengenali kamu. Maafi aku, De, kumohon” Jelas Valen tampak sungguh-sungguh, tidak tergurat dusta atau pun mengada-ada dari air mukanya. “Ah, kamu, Va! Kamu itu tidak berubah, soal sifatmu yang selalu polos dan selalu mengalah. Jujur aku merindukan kepolosanmu itu, dan sekarang ku temukan lagi. Namun sedikit terlihat aneh bila kepolosan itu berada dalam tubuh seorang Valen yang ada di sampingku sekarang. Yang lebih...” Oh, aku harus istirahat di sini. di luar aku bisa membuat diriku serileks mungkin, terlihat tenang dan santai. Tapi di hati ini, sungguh, sungguh aku tak kuasa untuk segala debaran hebat ini. “Lebih apa?” Valen menghujamku dengan pertanyaanya, benar-benar menghujam hati dan seluruh jiwaku yang sedang terbalut emosi. “Lebih besar, lebih tinggi, lebih hitam, lebih kurus...” aku mencoba membelokan arah pembicaraanku agar aku bisa lebih tenang, “Oh, Ya?” Valen terlihat tertawa kecil. “Dan kau Dewa yang sekarang! lihat dirimu begitu centhil, begitu besar, dan begitu-begitu yang lain. Tolong segera kembalikan Dewa sahabat kecilku. Ayo kembalikan!” Valen menanggapi perkataanku dengan masih terus tertawa kecil. Aku ikut tertawa. Dan sepanjang langkah kami itu berlalu dengan canda tawa kami. Yang begitu indah dan pasti akan ku rindukan. Dan tanpa aku sadari tangan kami telah saling bergandeng sejak beberapa waktu yang lalu. Tangan lembutnya begitu menghangatkan seluruh raga dan sanubariku. Malam itu adalah malam terindah untukku.
***
Hari-hari berlalu bermakna dengan internsitas pertemuanku dengan Valen yang semakin sering. Latihan gabungan antara PI SMK 2 dan SMK 5 menjadi salah satu alasanku untuk sekedar mendapati senyumannya lebih sering. Dan Endra aku sudah jarang bertemu dengannya, dan sejujurnya ketika Valen di sisiku membuat aku benar-benar melupakan Endra. Mungkin terdengar kejam. Namun itu memang yang terjadi. Menurut kabar dari teman-teman seorganisasiku juga sejumlah orang yang ku kenal, Endra telah memiliki hubungan lain degan gadis lain. Anehnya itu tak membuat sedikit pun diriku marah, sakit hati, atau cemburu, karena memang aku sudah tidak simpati lagi dengannya. Terlebih dengan sifat-sifat yang tidak dapat ku tolerir darinya, yang sudah ku ketahui secara mendalam selama aku menjadi kekasihnya. Dan sekarang aku semakin yakin kalau aku sudah tak ada rasa dengan anak itu.
Sore itu 10 Februari 2009, hujan deras menyelimuti kota Solo. Aku dan beberapa anak PI lain terjebak dalam air yang berjatuhan itu. Latihan Gabungan kami tidak sesuai dengan yang di jadwalkan karena Februari yang penuh hujan sehingga latihan kami terhenti sampai setengah waktu hari itu. Valen terlihat sedang bebicara dengan rekan seangkatannya, seperti sedang memberikan pidato kecil. Karena memang ia di sana menjadi seorang Komandan sekaligus Ketua PI di tahun miliknya. Aku sendiri sedang duduk menatapi derai derasnya hujan bersama seorang seniorku yang duduk di sampingku memberi nasehat-nasehat demi kemajuan angkatan kami. Setelah beberapa saat, seorang dari SMK 5 memanggilku, tapi bukan Valen. “Ada apa?” tanyaku pelan, melihat seseorang itu juga tampak tidak ingin terlalu menarik perhatian. “Valen menunggumu di atas.” Kata anak lelaki itu hampir berbisik. Aku sedikit merasa curiga dengan gelagatnya. Aku pun akhirnya menuruti kata anak itu, aku menuju ke ruang atas. Aku menaiki anak tangga selangkah demi selangkah dengan penuh tanda tanya. Segala dugaan-dugaan menghujani pikiranku sederas hujan yang turun sore itu. Sampai di atas terlihat Valen berdiri bersama Inod salah seorang seniorku, mereka memandangi ke arah barat seperti mencoba mencari matahari di balik awan mendung yang bertebaran liar di angkasa. Setelah melihatku datang, Inod menepuk bahu Valen dan beranjak pergi. Dan tinggalah hanya aku dan Valen di sana. Valen tersenyum tipis masih tak mengalihkan padagannya dari angkasa. Matanya tampak redup dengan awan mendung yang mengusai angkasa. Aku berjalan pelan mendekati Valen yang tinggal sendiri, menempati tempat Inod sesaat yang lalu. Langit tampak sangat kelam sore itu. Begitu diam dan beku, seperti Valen yang tampak berbeda sekarang. Dingin dan tenang. Aura hangatnya tampak tersapu oleh desiran udara dingin sore itu. Satu tetes air mata tampak menetes, jatuh ke bawah dan bercampur dengan genangan air hujan. “Valen!” seruku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi kepadanya. Hatiku remuk seketika ketika melihat air mata terjatuh dari mata indahnya. Dengan tidak memandangku sedikitpun ia meneteskan kembali air matanya. Sungguh aku tidak mengerti dengannya. Tampak senyum getirnya menyungging pipi berlesung pipitnya. Aku semakin resah apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Sakit itu begitu terasa nyata ketika melihanya begitu gulita. “Valen, aku nggak suka yah kalau kamu gini!” kataku dengan ikut terisak menatap Valen dari samping. Valen menatapku balik, dan wajahnya benar-benar tepat di depan mukaku. Dan kami pun saling berhadapan. Ku temui dirinya benar-benar menangis tak terkendalikan. Wajah manisnya terusak tangis menjadi penuh air mata. Aku benar-benar tak tahan dengan itu. Ku angkat tanganku dan ku usap air matanya dengan selembut yang aku dapat. Sedang aku sendiri juga tersedu-sedu. Jiwaku benar-benar melemas sekarang, namun ku coba tegarkan untuk dia seseorang yang ada di hadapanku. Kaki-kakiku mulai kesemutan, entah apa yang menyebabkannya. Tanganku mulai dingin, dan sepertinya kerigat dingin telah benar-benar memandikan tubuhku. Jantungku, jangan ditanya lagi ia sudah tak teratur sejak beberapa waktu yang lalu. “Aku seharusnya nggak seperti ini...” ujar Valen pelan menundukkan kepalanya. Aku tak tahu yang ia maksudkan, namun begitu saja aku berefleks untuk memberinya sebuah pelukan. Dan itu-lah yang akhirnya aku lakukan. Aku memeluknya seerat yang aku bisa, aku benar-benar tak ingin kehilangannya. Namun Valen meronta, dan melepaskan pelukanku darinya. Aku semakin tak mengerti. Namun akhirnya dialah yang memeluk diriku. Dan kehangatan pun menyeruak seluruh tubuh dan jiwaku menggelora dalam segala yang ada dalam diriku “Maafin aku, De...!” pekiknya sekali lagi pelan dengan isakan yang seakan tak dapat terhenti. “Aku nggak bisa nahan ini. Maafin aku, De...!” Valen terus saja meminta maaf tanpa aku tahu apa kesalahannya. Namun aku tak perduli apa kesalahannya, yang jelas aku tahu dia benar-benar menyesali kesalahannya itu. “Iya...iya...gue maafin...!” jawabku sudah tak tahan melihatnya bersedih, sampai dengan sebegitu membuatku ngeri. Valen melepaskan pelukannya lembut, dan menatap mataku dalam. “Dewa.” Panggilnya padaku lembut. Tangannya dilepaskan dari wajahku, dan dirogohnya kantong celananya. Ia seperti mencoba meraih sesuatu. Dan tak lama telah ada kotak kecil di tangannya. Diraihnya tanganku dengan sopan. Dan diletakkan kotak kayu kecil itu di telapatk tanganku yang terbuka. Ku pegang kotak kecil itu. Dan akhirnya ku temukan senyuman di sela tagisnya. Ku pegang dan akan ku buka kotak kecil itu, kalau saja Valen tak melarangku, “Jangan kau buka sekarang!” kata Valen. Dan aku langsung menyimpan kotak kecil itu di saku celanaku. “Aku ingin mengatakan sesuatu sama kamu, De!” kata Valen dengan matanya yang nampak masih sembab. Aku hanya dapat tersenyum mengisyaratkan kata ‘Ya’ pada Valen. Sesaat jantungku mulai teratur namun begitu Valen menatap tepat ke dalam mataku, getaran hati tak mampu ku tahan. “Aku...aku...Cinta sama kamu, De.” Kata-kata itu benar-benar tak hanya sekedar menggetarkan, namun sudah sampai merenggut hatiku. segala emosi jiwa menguasaiku. “Valen.” Kataku pelan. Dan seketika itu aku sudah tak mampu bicara lagi. Valen menatapku tajam dan aku juga membalas tatapannya. Kedua bola mata kami saling bertemu. Entah apa yang ku pikirkan saat itu, aku merasa ingin agar Valen menciumku. Kalian boleh menganggap aku apa pun. Yang jelas itulah yang aku rasakan saat itu. Sungguh benar-benar terasa tak sadarkan. Ku tutup kedua mata, beharap Valen memberiku sesuatu itu. Aku merasa Valen juga akan memberiku sebuah ciuman, karena aku telah mampu merasakan nafasnya yang mulai membuat suhu tubuhku naik tak terkendali. Namun belum sempat Valen menciumku, lelaki itu melepaskan tanyannya dari gandenganku dan dia. Dan aku merasa ia semakin menjauhkan wajahnya dariku. Ku buka mataku, ku dapati ia memalingkan wajahnya lagi dariku. “Valen!” panggilku. “Maafin aku, Dewa. Aku bukan Valen.” Kata lelaki itu. Hatiku seakan berhenti berdetak dengan suara petir menggelegar di angkasa yang membuat hujan di sana semakin deras, dan petir itu juga laksana menyambar hatiku. Perih. Aku menutup mulutku dengan tanganku, dan melepaskannya lagi. Sungguh kali ini aku menemukan kebenaran di raut wajahnya, dan juga raut penyesalan dan sugguh membuat aku benat-benar sakit hati. “Maafin aku, De! Aku bukan Valen aku Tino, Velentino adik kembar Valen!” kata sosok lelaki yang mengaku bernama Tino. Valentino mengeluarkan sebuah foto dari sakunya. Ditunjukan foto dua orang bayi kembar. “Ayah dan Ibu kami bercerai ketika kami masih kecil. Aku ikut bersama ibu dan Valen ikut ayah.” aku Tino yang kembar identik dengan Valen. “Dan dimana Valen, sekarang?” tanyaku dengan masih terpukul. Sungguh tak kusangka aku telah benar-benar mencintai dia yang penuh kebohongan. “Valen, sudah meninggal setahun yang lalu. Kebocoran jantung telah benar-benar merenggutnya dari kami, dari ku, dan juga...dari kamu!” kata Tino dengan wajahnya yang tertunduk. Keterangan Tino membuat aku semakin terpukul, getaran cinta telah berubah seketika menjadi sebuah pukulan menyakitkan yang senantiasa membuat jantungku tersayat dan tercabik menyakitkan. Aku semakin tak kuasa menahan kesedihan. Selangkah demi selangkah ku jauh kan diriku dari Tino. Terus melangkah ke belakang, dan akhirnya berbalik dan berlari menyusuri latai keramik dingin dengan suara gaduh hujan yang masih senantiasa untuk selanjutnya mengiringi langkahku. Tangga ku turuni dengan cepat. Tanpa berfikir bahkan untuk sedetik pun aku terus berlari. Bahkan di bawah derasnya hujan aku terus berlari. Beberapa anak PI melihatku dalam rinai hujan. Namun mereka tak sempat untuk mencegatku. Seluruh tubuhku dijatuhi air hujan yang bercampur dengan air mataku. Aku terus berlari tanpa kendali. Entah kemana tujuannya aku tak lagi perduli. Emosiku meluap dasyat sungguh mengerikan. Di bawah hujan aku terus menangis. Menangisi apa yang layak ku tangisi...hidup...
Hari satu persatu ku lalui. Tak pernah ku temui lagi Valen atau Tino dalam dua hari pasca kejadian 10 Februari itu. Tanggal 10 itu adalah tanggal ulang tahunku. Selisih empat hari dengan Valen atau pun Tino tentunya. Dan 14 Februari adalah hari milik keduanya. Sampai di rumah tanggal 10 Februari, ada kejutan istimewa dari orang tuaku. Sungguh ku coba untuk menyembunyikan segala kesedihan yang baru saja ku alami, dan menikmati pertambahan usiaku dalam hangatnya keluarga. Endra tak lagi menampakan batang hidungnya setelah aku putuskan dia pada tanggal 11-nya. Ia tak terlihat bersedih dan aku pun demikian. Putusnya kami dengan cara yang bisa dibilang baik-baik, kami saling mengucapkan terimakasih dan bersalaman, mungkin karena Februari yang penuh cinta ini ia menjadi tidak sekasar seperti yang ku kenal. Mungkin juga karena sekarang ia telah mendapatkan yang lebih baik dariku, seorang ketua Rohis putri di sekolah kami. Entah apa yang di perbuat Sang ketua Rohis putri sehingga membuat lelaki yang satu menjadi berubah total dari kepribadiannya yang dulu. Dan aku turut senang untuk itu.
14 Februari 2009, tepat hari Valentine tahun ini. Dengan tiga hari yang berjalan dengan normal seperti ketika hidupku belum memasuki Februari, ku merasa 14 Februari ini akan sama saja dengan tahun-tahun sebelumnya. Meski hari ini tidak bisa ku pungkiri kalau aku teringat dengan dua sosok yang ku kenal, Valen dan Valentino. Tak dapat ku elakan lagi kerena hari ini adalah hari ulang tahun mereka berdua. Dan aku hanya dapat megucapkan selamat ulang tahun di balik jendela kamarku dengan menatapi horizon sore dengan sedikir gerimis yang memberinya kilauan indah.
Malam ini aku merebahkan tubuhku dengan santai diranjang hangatku. Mengenang beberapa hari terindah dan tertak menyenangkan yang ku alami beberapa waktu yang lalu, mengingat dua bayagan yang terus mengikutiku. Teringat Valen dan Tino aku terigat satu hal. Ku beranjak dari kamarku keluar mencari-cari yang segera ingin ku temukan. Celana Olahragaku. Sebenarnya bukan itu yang ingin ku temukan tapi isi kantongnya. Kotak kecil yang di berkan Valentino tanggal 10 Februari. Itu membuat aku penasaran. Akhirnya ku temukan celana olah ragaku masih tergantung di tali jemuran. Ku ambil celana itu dan kuambil isi kantongnya. Kotak kecil itu masih ada. Ku buka kotak itu dengan segera, seraya berlari ke kamarku ku coba menemukan isinya. Ku rebahkan tubuhku dan sekarang aku benar-benar berkonsentrasi dengan isi kotak itu. Cincin. Cincin perak yang indah. Ku letakkan lagi di tempatnya dan ku temukan ada sepucuk kertas di bawahnya, yang sepertinya sebuah surat. Ku buka surat itu dan mulai ku baca isinya: Selamat ulangtahun Dewa. Ini surat dari ku Valentino. Maafkan aku telah tak jujur pada dirimu sejak awal. Aku hanya tidak ingin membuat dirimu kecewa dengan tidak adanya keberadaan Valen. Aku ingin tak muncul dalam hidupmu, tapi hasrat Valen membuatku harus melakukannya. Asal kamu tahu dia sangat mencintaimu, Dewa. Puisi yang ia buat sampai sekarang masih ku simpan dan beberapa aku kirimkan keifent- ifent dan akhirnya di muat dalam buku yang kau baca beberapa saat yang lalu di Granmedia. Ia sangat mengagumi dan memujamu. Dan itu seakan menurun kepadaku, menjadi peninggalan berharga untukku. Dan sekarang aku menemui perasaan luar biasa dalam sanubariku yang tidak dapat ku elakan lagi. Aku juga telah jatuh cinta, benar-benar jatuh cinta kepadamu, Dewa. Cincin ini adalah peninggalan Valen untukmu. Itu hakmu dan sudah ditanganmu. Oh, ya selamat hari Valentine, Dewa. Hari Valentine seperti yang kau tahu adalah hari ulang tahunku dan Valen. Dan satu-satunya hal yang ku harapkan untuk ulang tahunku adalah aku ingin bertemu dengan mu meski untuk terakhir kalinya. Dan setelah itu kau boleh tak menganggapku diriku. Tapi ku mohon di hari ulang tahunku saja...
Akan menunggumu sampai hari Valentine tahun ini habis(pukul 00.00, 15 Februar 2009) di air mancur depan Stadion Manahan...Aku benar-benar menunggumu...dan benar-benar ingin bertemu denganmu....[14 Februari 2009]
Setelah membaca surat itu aku langsung saja tanpa pikir panjang, beranjak dari ranjang mengambil kunci motor dan motor merahku mulai menjejaki dinginnya malam itu dengan kecepatan semaksimal yang ku dapat. Kotak cincin, juga suratnya telah berada dalam saku celanaku. Jalan ramai penuh sesak, dengan para muda mudi yang ingin merayakan hari kasih sayang ini dengan berjalan-jalan menyusuri jalanan kota Solo. Aku merasa sedikit panik dengan suara klakson di sana sini yang terus saja menggema tanpa henti. Sampai di taman dekat terminal Tirtonadi di sanalah puncak kemacetan yang kudapat. Kendaraan berjubel di sana. Aku terjebak di keramaian tidak dapat maju atau pun mundur. Tak kusangka perjalanku akan terasa begitu lama daripada saat aku berangkat sekolah seperti biasanya. Asap dari beberapa kendaraan membuat aku sedikit pusing dan sesak. Jam tanganku menunjukan pukul 23.30. sangat lama sekali perjalanku kali ini, berangkat pukul 21.00 dan sampai sekarang belum tiba juga di tempat tujuan. Satu jam kemudian akhirnya aku dapat bergerak meski dengan merayap-rayap pelan. Namun itu sudah cukup dari pada harus benar-benar tak bergerak sama sekali. Jantungku berdebar kencang dengan memandangi jam tanganku beberapa kali. Berharap aku bisa tepat waktu samapi disana. Sejujurnya kau juga tak ingin membuat Valen atau siapalah, Valentino merasakan yang disebut sakit hati. Dan sesungguhnya juga ada perasaan indah sejak aku mengenal sosoknya. Cinta. Oh, akhirnya aku memang merasakan Cinta. Aku ingin segera bertemu dengannya dan mengatakan ‘Aku Cinta Kamu’ padanya. Yah, itulah yang ku ingini. Gerakku dapat lebih cepat dari sebelumnya. Ketika melewati sekolahku ku temukan atmosfer indah terpancar. Dan begitu aku memasuki Taman Stadion Manahan terdapat keramaian yang luar biasa. Sampai aku begitu bingung dengan banyaknya orang di sana. Tempat pertama yang ingin aku jamah adalah air mancur. Namun tempat itu begitu sesak. Ku parkir motorku sembrang dan langsung aku berjalan-jalan mencari celah mencoba mecari seorang lelaki manis yang beberapa hari tidak ku dapatkan senyumnya. Dan itu yang membuat kau benar-benar merindukannya. “Valen!” panggilku pelan di tengah keramaian. “Valentino!” panggilku lagi dengan lebih bertenaga. “Valentino!” panggilku untuk kedua kalinya. “Tino!” panggilku sudah hampir putus asa. “Valen!” aku mencoba mencari sosoknya. “Dewa!” seseorang menyebut namaku dari arah belakang. “Valentino!” aku memberi ia sebuah pelukan. Tiga hari tidak menemukan sosoknya, membuat ku benar-benar merindukannya. “Ayo pergi dari sini!” ajak Valentino. “Oh, sial sebenarnya mau buat kejutan untuk kamu. Tapi ternyata banyak orang jadi nggak bisa!” keluh Valentino. “Kita mau ke mana?” tanyaku dengan sedikit berteriak agar sampai ke pendengaran Valentino. “Ke sekolah kamu. Anak-anak di sana.” Jawab Valentino juga dengan sedikit keras. Dan sampailah kami di gerbang sekolah dengan motor merah kesayanganku yang kami dibuat berboncengan. Di sekolah telah berkumpul anak-anak PI dari SMK 2 dan juga SMK 5. mereka mengadakan pesta kembang api di halaman dengan beberapa roti yang terpanggang, juga berbagai cemilan di atas tikar yang mereka gelar. Beberapa anak membeli martabak di depan SMK 2 dan beberapa satpam yang berjaga malam terlihat ikut bergabung dengan para anak muda itu. jalanan yang ramai dan gemerlap membuat suasana bergelora di malam Valentine itu.
Aku dan Valentino duduk agak menjauh dari anak-anak. dan untuk ke dua kalinya lelaki itu menyatakan cintanya padaku. senyum manisnya membuat aku tak kuasa untuk berkata tidak, belum lagi hatiku yang 100% mencintai dia. Oh, Valentino Aku Cinta Kamu....
Ssstttsss... di saat itu aku benar-benar mendapatkan ciuman darinya...ciuman pertamaku, di 14 Februari 2009 dengan lelaki yang bernama Valentino. Oh, Biarlah itu jadi rahasia kami berdua... @@@ selamat valentine 2009
Kamis, 19 Februari 2009
Langganan:
Postingan (Atom)